Knowledge management (KM) atau manajemen pengetahuan menjadi isu menarik
sejak awal kemunculannya. Berbagai akademisi dan praktisi bisnis mulai mencoba
menumbuh-kembangkan manajemen pengetahuan melalui penelitian-penelitian maupun
penerapan dalam praktek-praktek bisnis.
Untuk memudahkan pemahaman mengenai manajemen pengetahuan, pengertian
manajemen pengetahuan perlu diketahui. Fernandez dan Sabherwal (2001) mengartikan
pengetahuan (knowledge) sebagai hasil refleksi dan pengalaman seseorang, sehingga
pengetahuan selalu dipunyai oleh individu atau kelompok. Pengetahuan (knowledge)
melekat dalam bahasa, aturan-aturan dan prosedur-prosedur, serta konsep.
Terdapat dua dimensi kritikal yang perlu untuk memahami knowledge dal am
konteks organisasi, yaitu pertama, pengetahuan eksis di setiap individu, kelompok atau
organisasi; kedua, pengetahuan dapat dilihat dari sebagai sesuatu yang dapat disimpan,
dan sebagai suatu proses yaitu proses untuk mengetahui sesuatu. Berdasarkan 2 dimensi
tersebut, pengetahuan dapat dibagi menjadi tacit dan explicit knowledge.
Tacit knowledge adalah pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman, kegiatan-
kegiatan yang dilakukan, dan susah didefinisikan di mana biasanya dibagikan lewat diskusi-
diskusi, cerita-cerita. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), tacit knowledge diartikan
sebagai suatu pengetahuan yang personal, spesifik, dan umumnya susah diformalisasi
dan dikomunikasi kepada pihak lain.
Sedangkan explicit knowledge adalah pengetahuan yang sudah diformulasikan,
biasanya disajikan dalam bentuk tulisan misalnya peraturan, buku-buku literatur-literatur.
Dalam organisasi proses penyebaran/sharing pengetahuan akan membantu pencapaian
tujuan organisasi. Explicit atau codified knowledge diartikan sebagai pengetahuan yang
dapat ditransformasikan dal am bentuk formal dan bahasa yang sistematis.
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh organisasi-organisasi adalah mengkonversi
jacit knowledge menuju explicit knowledge, atau sebaliknya. Organisasi dituntut untuk
mampu menterjemahkan pengetahuan yang eksis di individu, kelompok atau tim, dan
organisasi menjadi nyata dalam bentuk produk-produk dan jasa-jasa yang dihasilkan.
Agar konversi bisa berjalan dengan baik, Nonaka dan Takeuchi (1995) memperkenalkan
4 pola dasar penciptaan pengetahuan yang dikenal dengan The Spiral Of Knowledge.
Spiral of knowledge
1>Sosialisasi, menjelaskan saling berbagi antar tacit knowledge, umumnya tanpa
melibatkan hal-hal formal, misalnya sharing budaya organisasi antara anggota
organisasi yang lama dengan anggota yang barn dengan tujuan anggota yang baize
mampu beradaptasi dengan budaya organisasi. Contoh nyata perubahan tacit ke
explicit knowledge misalnya bila perusahaan ingin menerapkan penggunaan mesin-
mesin barn dalam proses produksi maka perusahaan mengirimkan wakilnya untuk
belajar mesin tersebut. Hal yang mungkin dilakukan pertama kali adalah dengan
melalcukan mengamati, mengobservasi, serta mempraktekan mesin tersebut selama
pelatihan.
2> Eksternalisasi/artikulasi, menkonversi tacit knowledge menjadi explicit knowledge
biasanya menggunakan metafor-metafor yang dapat dipahami bersama. Misalnya
hasil pengamatan, dan observasi terhadap mesin barn tersebut diubah dalam bentuk
tertulis yang mudah dipahami, dan dapat didiskusikan bersama rekan-rekan kerja.
3> Kombinasi, mengkombinasikan antar explicit knowledge yang dipunyai oleh individu
lain dengan explicit knowledge yang dipunyai oleh diri sendiri contoh konkrit
adalah sekolah-sekolah bisnis yaitu MBA, dan MM. Misalnya agar semakin banyak
orang yang dapat memanfaatkan mesin tersebut dibuatlah standar prosedur operasi
atau buku petunjuk penggunaan agar lebih banyak orang mempelajarinya.
4> Internalisasi, merubah explicit knowledge menuju tacit knowledge. Jargon yang
paling populer untuk menjelaskan internalisasi adalah learning by doing. Misalnya
dengan pengalaman mengoperasikan mesin bare dapat meningkatkan pemahaman
tacit knowledge.
Dengan memahami 4 pola penciptaan pengetahuan, maka organisasi perlu
menyadari bahwa pengetahuan awalnya eksis di masing-masing individu dan agar menjadi
milik organisasi, maka organisasi harus memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi
pengetahuan individu menjadi pengetahuan organisasi melalui dialog, diskusi, berbagi
pengalaman, dan observasi.
Studi-studi KM mengungkapkan pentingnya organisasi mengembangkan
pengetahuan sebagai aset agar mampu menghadapi persaingan. (Caniero, 2000; Lee,
2001; Rowley, 1999 ). Studi Caniero (2000) memberikan pemahaman bahwa KM dibentuk
dari berbagai karakteristik personal dan pengembangan personal. KM membentuk
keputusan-keputusan stratejik, dan dari keputusan-keputusan stratejik terbentuklah market
knowledge dan competitors knowledge. Market knowledge membentuk usaha-usaha
inovatif dan menghasilkan inovasi sedangkan competitors knowledge membentuk usaha-
usaha kompetitif dan menghasilkan daya saing.
Penelitian mengenai KM juga dilakukan oleh Lee (2001) dengan tujuan untuk
mengidentifikasi dan memahami peran knowledge sharing pada kesuksesan outsourcing
proyek sistem informasi (SI). Ada empat variabel yang diuji dalam penelitian ini yaitu
knowledge sharing (tacit and explicit knowledge), organizational capability, partnership
quality, dan outsourcing success. Semua variabel independen (knowledge sharing,
organizational capability, partnership quality) memberikan pengaruh yang kuat pada
variabel dependen (outsourcing success). Penelitian ini memberikan gambaran bahwa
knowledge sharing mampu menjadi salah satu faktor anteseden dalam kerjasama lintas
fungsi. Knowledge sharing antara organisasi dengan service providers bisa dianalogikan
sebagai knowledge sharing antar anggota tim karena organisasi dengan service providers
bekerja sama dalam tim untuk mengembangkan sistem informasi.
Penelitian pengaruh knowledge sharing di sektor publik di Indonesia diungkapkan
oleh Aldi dan Utomo (2003). Penelitian dengan mengambil setting penelitian di Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Timur, Kotamadya Surabaya, Kotamadya Malang, Kabupaten
Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Malang mengungkapkan knowledge sharing
menjadi prediktor kerjasama tim lintas fungsi dalam pelaksanan proyek. Hasil temuan
menunjukkan bahwa knowlede sharing tidak berpengaruh signifikan terhadap kerjasam
tim lintas fungsi. Tidak signifikannya temuan mengindikasikan bahwa hanya sedikit anggota
organisasi yang mempunyai pengetahuan yang cukup dalam melaksanakan proyek.
Implikasi temuan ini menunjukkan bahwa pengetahuan belum sepenuhnya menjadi
tumpuan organisasi (Dinas Kesehatan) melaksanakan proyek. Hasil temuan, tentu saja,
tidak bisa digeneralisir untuk semua dinas kesehatan ataupun sektor publik di Jawa Timur
atau Indonesia karena temuan penelitian ini hanya merupakan snap shoot atau potret
sesaat saja yang pasti akan terus berubah.
Mengacu dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai akademisi
menunjukkan bahwa KM memegang peranan penting dalam kehidupan organisasi.
Kemampuan organisasi untuk mengeksplorasi kekayaan pengetahuan yang eksis di setiap
anggota organisasi, kemudian mengumpulkannya menjadi knowledge-base, dan
memanfaatkannya secara efektif akan membantu mempercepat akselerasi organisasi.
Kemampuan perusahaan untuk mengumpulkan, memanfaatkan, dan mendaya gunakan
pengetahuan secara efektif akan menjadi sumber utama keunggulan kompetitif organisasi.
en Pengetahuan sebagai keunggulan kompetitif.
Sumber kekuatan internal organisasi yang tidak mungkin diadaptasi oleh pesaing
manajemen pengetahuan. Seperti diungkapkan di awal, pengetahuan eksis disetiap
'du dan masing-masing individu mempunyai pengetahuan yang berbeda satu sama
Para pesaing tidak mungkin meniru pengetahuan yang dipunyai oleh perusahaan
Sebagai sumberdaya yang berharga bagi organisasi, sebaiknya organisasi mengelola
'emen pengetahuan yang baik. Studi yang dilakukan Davenport et. al. (1998)
"dentifikasi empat langkah yang perlu dilakukan organisasi agar KM menjadi
ya stratejik.
L Pengetahuan dapat `disimpan
Data, informasi, maupun pengetahuan dapat disimpan dalam bentuk dokumentasi
agar mudah ditelusuri bila dibutuhkan. Bagi pengetahuan yang sifatnya tacit, sebaiknya
diartikulasikan menjadi codifiedlexplicit knowledge. Pengetahuan yang dapat disimpan
memudahkan organisasi untuk menelusurinya dan memanfaatkan di setiap
kesempatan.
2. Pengetahuan mudah diakses
dan Amidon (1998) mengemukakan bahwa pengetahuan (knowledge) dapat diukur
dengan menggunakan balanced scorecard. Dimensi innovation dan learning dalam
balanced scorecard merupakan proses aktivitas manajemen pengetahuan. Meskipun
ada debat dalam pengukurannya, Skyrme dan Amidon (1998) menyakini bahwa
dimensi innovation dan learning mempunyai potensi untuk mengukur pengetahuan
sebagai aset.
Organisasi yang mempunyai pengetahuan superior mampu mengkoordinasi dan
mengkombinasikan sumberdaya-sumberdaya tradisional dan kapabilitas dalam bentuk
dan cara barn sehingga dapat memberikan nilai lebih bagi pelanggan. Dengan memiliki
sumberdaya intelektual yang superior, organisasi dapat mengetahui bagaimana
mengembangkan dan mengeksploitasi sumberdaya tradisonal lebih baik daripada pesaing
meskipun sumberdaya tersebut tidak unik dan mudah ditiru. Pengetahuan dapat
dikategorikan sebagai sumberdaya stratejik terpenting sehingga dapat digunakan untuk
keunggulan kompetitf yang tahan lama.
Pengetahuan, terutama tacit knowledge, berpotensi menjadi sumberdaya yang
unik dan sukar ditiru. Tidak seperti sumberdaya tradisional lainnya, tacit knowledge
tidak dapat diperdagangkan dalam bentuk siap pakai. Untuk meniru tacit knowledge
organisasi, pesaing setidaknya memiliki pengalaman yang serupa, dan untuk
mendapatkannya memerlukan waktu yang lama. Untuk mempertahankan keberlangsung
keunggulan kompetitif, organisasi dapat melakukan dengan menambah pengetahuan baru.
Gabungan pengetahuan lama dan baru menciptakan keunikan baru yang akhirnya
menciptakan kesempatan untuk melakukan 4inergi pengetahuan.
Pengetahuan dapat menjadi keunggulan kompetitif yang tahan lama bila organisasi
mengetahui lebih banyak akan sesuatu dibandingkan pesaing. Tidak seperti sumberdaya
tradisional lainnya yang dapat berkurang saat digunakan, pengetahuan justru akan
meningkat pada saat digunakan. Pengetahuan yang semakin sering digunakan akan
semakin bernilai bagi organisasi.
Dengan menjadikan manajemen pengetahuan menjadi keunggulan kompetitif
organisasi sebaiknya KM didayagunakan dan diterapkan secara nyata oleh perusahaan.
Bentuk konkrit penerapan adalah mengembangkan strategi organisasi berbasis
pengetahuan. Strategi yang berbasis pengetahuan diharapkan mampu lebih mengeksplorasi
keunikan yang dimiliki organisasi.
Strategi Organisasi berbasis pengetahuan
Konsep SWOT (streghts, weakness, oppurtunities, dan threats) sudah lama dikenal
oleh praktisi maupun akademisi. Rerangka SWOT menjelaskan dan menganalisis
kapabilitas internal perusahaan, tercermin dalam kekuatan dan kelemahan, yang
berhubungan dengan kesempatan dan ancaman lingkungan organisasi. Organisasi
disarankan untuk melakukan tindakan-tindakan strategis untuk mendayagunakan
Ibraempatan, mengurangi kelemahan, meminimalkan ancaman, dan mengkapitalisasi
pduang. Strategi organisasi dapat dilihat sebagai tindakan untuk menyeimbangkan keadaan
doernal organisasi dengan kapabilitas internal organisasi.
Dominasi analisis SWOT ditandai dengan penggunaan model five forces milik
Porter. Model yang dikembangkan Porter (1980) lebih terfokus pada kemampuan
perusahaan menganalisis kekuatan lingkungan eksternal perusahaan yang dapat
memunculkan kesempatan dan ancaman. Mangacu padafiveforces Porter, industri sangat
terstruktur sehingga memudahkan perusahaan melakukan penetrasi ke suplier dan
pdanggan, dan mencegah masuknya pesaing barn dan produk substitusi. Strategi menjadi
brays sekedar memilih industri yang tepat dan melakukan positioning dalam industri
tenebut strategi generik yang dipilih yaitu biaya rendah (low cost) atau diferensiasi produk
(product differentiation).
Zack (1999) mengungkapkan kritikan terhadap rerangka five forces Porter.
Menurutnya, five forces lebih menekankan keunggulan industri daripada keunggulan
perusahaan sehingga keunikan dan keunggulan perusahaan tidak tergali. Mengacu pada
keadaan tersebut perusahaan sebaiknya kembali fokus kepada kapabilitas dan sumberdaya
perusahaan. Perspektif ini dikenal dengan resource-based view.
Pendekatan resource-based view berpendapat bahwa perusahaan sebaiknya
memposisikan dirinya secara strategis berdasarkan keunikan, nilai-nilai perusahaan, serta
sumberdaya dan kapabilitas yang sukar ditiru. Strategi organisasi bukan didasarkan pada
produk dan jasa yang dihasilkan dari keunikan, nilai-nilai perusahaan, serta sumberdaya
dan kapabilitas yang sukar ditiru.
Strategi berdasarkan pendekatan resource-based memungkinkan perusahaan
bertahan dalam jangka waktu yang lama dibandingkan pendekatan tradisional misalnya
analisis SWOT (Zack, 1999). Keunggulan kompetitif organisasi akan bertahan lama bila
berdasarkan kekuatan yang berasal dari organisasi.
Kritikan terhadap analisis SWOT bukan berarti menunjukkan bahwa analisis
tersebut kurang bermanfaat. Analisis SWOT dapat dipergunakan dalam perspektif lain.
Analisis SWOT dapat digunakan untuk memetakan kapabilitas dan sumberdaya
pengetahuan yang dimiliki organisasi. Dengan pemetaan yang balk, organisasi dapat
mengetahui keunggulan Berta mengurangi kelemahan manajemen pengetahuannya sehingga
strategi berbasis pengetahuan dapat dibuat berdasarkan manajemen pengetahuan yang
dipunyai.
Strategi berbasis pengetahuan, sebenarnya merupakan bentuk pararel dengan
analisis SWOT, menjelaskan keseluruhan pendekatan yang dilakukan organisasi untuk
mengkaitkan sumberdaya pengetahuan dan kapabilitas yang dipunyai dengan strategi
yang dilakukan. Hubungan manajemen pengetahuan dan strategi merupakan hubungan
timbal balik artinya strategi mempengaruhi manajemen pengetahuan sebaliknya manajemen
pengetahuan mempengaruhi strategi. Hubungan antara manajemen pengetahuan dan
strategi perusahaan seringkali tidaklah sejalan sehingga terdapat gap antara keduanya.
Gap dalam strategi terjadi antara apa yang harus dilakukan organisasi dan apa yang dapat
dilakukan organisasi. Gap dalam manajemen pengetahuan terjadi antara apa yang
perusahaan harus ketahui dan apa yang perusahaan ketahui.
Untuk memperkecil gap antara manajemen pengetahuan dan strategi, organisasi
perlu mencari sumber pengetahuan. Sumber-sumber pengetahuan dapat dicari dan dalam
organisasi maupun luar organisasi. Pengetahuan internal organisasi dapat ditemukan dari
dokumen, prosedur dan aturan organisasi, perilaku, iklim dan budaya organisasi.
Pengetahuan eksternal dapat ditemukan di publikasi-publikasi iltniah, majalah-majalah
populer, dan di sekolah-sekolah bisnis.
Pengetahuan yang berasal dari luar organisasi, biasanya lebih abstrak dan dapat
diakses pesaing, memberikan pemikiran-pemikiran barn dan segar bagi organisasi serta
dapat menjadi pembanding. Beberapa perusahaan telah melakukan penyegaran bagi
karyawannya dengan bekerja sama dengan beberapa sekolah bisnis (Program Magister
Manajemen) di Indonesia untuk membuka kelas khusus dengan nama perusahaan tersebut.
Cara lain yang sering dilakukan oleh anggota organisasi dengan menjadi anggota sebuah
ikatan tertentu seperti ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), IAI (Ikatan Akuntan
Indonesia), dan IPOMS (Indonesian Production and Operation Management Society),
menjadi anggota kelompok diskusi mengenai topik tertentu di mailing list di Internet.
Pengetahuan elcsternal dapat diperoleh organisasi melalui dialog dengan pelanggan, vendor,
dan pemasok.
Kombinasi pengetahuan yang didapat dari luar organisasi dengan pengetahuan
dari dalam akan memberikan perspektif barn dalam membuat strategi organisasi atau
melakukan eksekusi strategi organisasi yang telah dibuat. Bentuk konkrit yang dilakukan
organisasi melalui program-program reward untuk pelanggan, customer care yang
morupakan umpan balik pelanggan kepada organisasi sehingga organisasi memperbaiki
kektuangan-kekurangan produk/jasa yang dihasilkan.
Strategi organisasi berbasis pengetahuan mensyaratkan keinginan kuat organisasi
untuk menambah basis pengetahuan yang dipunyai. Implementasi dan eksekusi strategi
organisasi memerlukan kemampuan pengetahuan yang cukup dalam mengoptimalkan
pilihan-pilihan strategi yang ada sesuai dengan perkembangan industri, pesaing, dan
kapabilitas organisasi.
Penutup
Keberhasilan organisasi dalam memenangkan persaingan dapat di tempuh dengan
membuat, dan mengimplementasikan strategi dengan tepat. Manajemen pengetahuan
merupakan keunggulan stratejik organisasi diperlukan sebagai modal dasar untuk
mendukung strategi organisasi.
Organisasi harus secara strategis mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya-
sumberdaya pengetahuan dan kapabilitas organisasi yang dimiliki. Eksplorasi dan
eksploitasi yang dilakukan organisasi dilakukan dengan dua pendekatan yaitu terhadap
anggota organisasi dan organisasi itu sendiri.
Pada anggota organisasi dilakukan dengan dua cara yaitu eksplorasi dan eksploitasi
karakteristik anggota, dan faktor yang mempengaruhi pengembangan anggota.
Karakteristik anggota berupa perilaku, nilai (value) yang dianut, dan tingkat kreatifitas.
Pengembangan anggota berkaitan dengan kemampuan dan kemauan investasi pengetahuan
yang dilakukan organisasi. Organisais harus mampu memotivasi anggotanya untuk
mendapatkan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Sedangkan, eksplorasi dan eksploitasi
organisasi dilakukan dengan cara yaitu mengembangkan pemahaman yang sama dan
utuh dalam mengukur manajemen pengetahuan, membantu anggota untuk mengenali
dan mengidentifikasi kebutuhan pengetahuannya, mempersilahkan anggota untuk
berdiskusi dan berdebat mengenai manajemen pengetahuan, mengukur dampat manajemen
pengetahuan, memfasilitasi pengetahuan melalui budaya organisasi, dan manajemen
pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk dokumen dan data base.
Manajemen pengetahuan tidak bersifat statis, manajemen pengetahuan yang inovatif
saat ini akan menjadi usang dimasa mendatang. Persaingan akan selalu ketat dimasa
mendatang, sehingga organisasi harus terus mengembangkan manajemen
pengetahuannya.
Organisasi harus memfasilitasi anggotanya untuk selalu mengembangkan diri,
sehingga muncul ide-ide kreatif baru dalam produk/jasa yang dihasilkan. Fasilitas-fasilitas
yang dapat diberikan organisasi kepada anggotanya dapat berupa pemberian kesempatan
untuk melanjutkan pendidikan, mengikuti pelatihan/seminar yang berkaitan dengan lingkup
kerja, berpartisipasi dalam organisasi profesi, pemberian fasilitas kerja yang baik, dan
aturan dan prosedur organisasi yang memungkinkan terciptanya ide kreatif. Inovasi terus
menerus menjadi dasar organisasi untuk terus bertahan dalam persaingan yang ketat.
Setiap anggota organisasi mempunyai aloes yang sama terhadap knowledge base
organisasi. Agar proses aksessibilitas dan transfer mudah dilakukan antar anggota,
organisasi perlu memfasilitasi dengan memanfaatkan teknologi misalnya video
conference, jaringan internet dan intranet, telepon, dan faksimili. Banyak organisasi
mempunyai ruang perpustakaan sehingga anggotanya mudah mengakses
pengetahuan-pengetahuan terbaru melalui buku-buku, jurnal-jumal, dan majalah-
majalah. Organisasi memfasilitasi juga dengan aturan dan prosedur yang memudahkan
setiap orang dapat mengakses pihak-pihak dan anggota organisasi lain yang
mempunyai pengetahuan.
3. Peningkatan pengetahuan didukung oleh organisasi
Lingkungan eksternal berubah dengan cepat akibatnya organisasi harus senantiasa
beradaptasi. Kemampuan organisasi untuk beradaptasi perlu dukungan pengingkatan
pengetahuan. Organisasi perlu menciptakan lingkungan yang mampu mempercepat
peningkatan pengetahuan. Temuan Davenport et al. (1998) mengungkapkan perlunya
sentralisasi struktur organisasi, dan perubahan budaya kerja yang mendukung
kreatifitas anggota organisasi. Hal konkrit yang bisa dilakukan perusahaan yaitu
dengan memberikan penghargaan bagi anggota organisasi yang menyumbangkan
pengetahuan kepada knowledge base organsiasi. Penghargaan yang diterima dapat
berupa peningkatan kompensasi maupun promosi pangkat/jabatan.
4. Mengelola pengetahuan sebagai aset.
Dalam organisasi, aset dapat berbentuk barang berwujud maupun barang berwujud.
Organisasi berfokus kepada dua aset tersebut. Pengetahuan, merupakan aset tidak
berwujud, harus diperlakukan sebagai aset berwujud yaitu dapat diukur.
Strategi Bersaing Bisnis Global (Global Business Competition Strategy)
Monday, June 4, 2012
PENGARUH TIPOLOGI STRATEGI KOMPETITIF DAN KEMATANGAN TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP RESPON STRATEGIK MANAJER (Studi Kasus Pada Perusahaan PT Pupuk Kalimantan Timur)
EKO SUNJAYA, Eko Sunjaya and MEIRANTO, Wahyu (2011) PENGARUH
TIPOLOGI STRATEGI KOMPETITIF DAN KEMATANGAN TEKNOLOGI INFORMASI
TERHADAP RESPON STRATEGIK MANAJER (Studi Kasus Pada Perusahaan PT Pupuk
Kalimantan Timur). Undergraduate thesis, Universitas Diponegoro.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam dunia usaha banyak perusahaan yang ikut serta dalam kompetisi
diberbagai bidang, perbedaan yang ada menciptakan ketidakpastian lingkungan.
Berbagai peristiwa ekonomi di seluruh dunia telah mewarnai dan membentuk
arah ekonomi global. Salah satunya diawal tahun 2010 adalah tahun dimulainya
Asean China Free Trade Area (ACFTA). Dalam strategi baru industrialisasi ke
depan dengan otonomi daerah yang semakin baik dan pembelajaran dari
ekonomi rakyat dalam proses pertumbuhan ekonomi yang berjalan sebelumnya,
sudah saatnya dilaksanakan strategi industrialisasi yang lebih berkelanjutan.
Ekonomi rakyat di daerah-daerah dengan kondisi yang spesifik serta keunggulan
komoditas masing-masing menjadi target pengembangan dari kebijakan-
kebijakan ekonomi (fiskal, moneter, perbankan, perdagangan, infrastruktur dan
seterusnya seperti telah disebutkan). Para pengusaha besar nasional dan asing
yang memiliki kekuatan modal, manajemen, teknologi, informasi, dan jaringan
serta dengan peluang usaha di dalam maupun luar negeri yang umumnya juga
mempunyai daya terobos ke mana saja investasi mereka dapat diarahkan secara
menguntungkan (Didin S Damanhuri, 2010).
Perusahaan dalam memasuki persaingan yang semakin ketat akan menetapkan
strategi bersaing agar tetap dapat bertahan (survive). Salah satu usaha yang dilakukan
oleh perusahaan adalah melakukan investasi pada teknologi informasi. Teknologi
strategi bersaing agar tetap dapat bertahan (survive). Salah satu usaha yang dilakukan
oleh perusahaan adalah melakukan investasi pada teknologi informasi. Teknologi
informasi dianggap sebagai salah satu penunjang eksistensi keikutsertaan perusahaan
dalam persaingan di pasar dunia. Dengan teknologi informasi memungkinkan
perusahaan yang mengadopsi teknologi informasi memiliki keunggulan kompetitif.
Teknologi informasi memberikan peluang bagi perusahaan global untuk meningkatkan
koordinasi dan pengendalian atau dapat pula dimanfaatkan untuk mendapatkan
keunggulan daya saing di pasar dunia. Investasi teknologi informasi tersebut mendorong
perusahaan untuk mempelajari teknologi informasi agar dapat dimanfaatkan secara
maksimal, sehingga memberikan dampak positif terhadap kinerja (Lestari, 2007).
Pengaturan dan pengelolaan teknologi informasi dalam perusahaan memiliki implikasi
penting bagi jemampuan perusahaan dalam memanfaatkan sinergi lintas unit
(Sambamurthy dan Zmud, 1999).
dalam persaingan di pasar dunia. Dengan teknologi informasi memungkinkan
perusahaan yang mengadopsi teknologi informasi memiliki keunggulan kompetitif.
Teknologi informasi memberikan peluang bagi perusahaan global untuk meningkatkan
koordinasi dan pengendalian atau dapat pula dimanfaatkan untuk mendapatkan
keunggulan daya saing di pasar dunia. Investasi teknologi informasi tersebut mendorong
perusahaan untuk mempelajari teknologi informasi agar dapat dimanfaatkan secara
maksimal, sehingga memberikan dampak positif terhadap kinerja (Lestari, 2007).
Pengaturan dan pengelolaan teknologi informasi dalam perusahaan memiliki implikasi
penting bagi jemampuan perusahaan dalam memanfaatkan sinergi lintas unit
(Sambamurthy dan Zmud, 1999).
Teknologi dipandang sebagai alat yang digunakan oleh individu untuk
menyelesaikan tugas-tugasnya. Dalam konteks riset sistem akuntansi, teknologi
diartikan sebagai sistem komputer (hardware, software dan data) dan jasa yang
mendukung pemakai (training, help lines, dan lain-lain) yang disediakan untuk
membantu pemakai dalam tugas-tugasnya (Goodhue dan Thompson, 1995). Ada
keterkaitan antara teknologi, rantai nilai, dinamika bersaing dan kinerja suatu
perusahaan. Rantai nilai adalah alat pokok untuk memahami peran teknologi
dalam keunggulan bersaing (Porter, 1985). Dalam bidang sistem informasi,
teknologi adalah suatu hal yang menjamah ke segala arah khususnya dalam
rantai nilai, karena setiap aktivitas akan menciptakan nilai dan memakai
informasi (Porter, 1985). Teknologi informasi juga dapat membantu
meningkatkan sistem informasi akuntansi (Daljono, 1999). Salah satunya adalah
sistem informasi berbasis komputer dapat melakukan fungsinya secara lebih
menyelesaikan tugas-tugasnya. Dalam konteks riset sistem akuntansi, teknologi
diartikan sebagai sistem komputer (hardware, software dan data) dan jasa yang
mendukung pemakai (training, help lines, dan lain-lain) yang disediakan untuk
membantu pemakai dalam tugas-tugasnya (Goodhue dan Thompson, 1995). Ada
keterkaitan antara teknologi, rantai nilai, dinamika bersaing dan kinerja suatu
perusahaan. Rantai nilai adalah alat pokok untuk memahami peran teknologi
dalam keunggulan bersaing (Porter, 1985). Dalam bidang sistem informasi,
teknologi adalah suatu hal yang menjamah ke segala arah khususnya dalam
rantai nilai, karena setiap aktivitas akan menciptakan nilai dan memakai
informasi (Porter, 1985). Teknologi informasi juga dapat membantu
meningkatkan sistem informasi akuntansi (Daljono, 1999). Salah satunya adalah
sistem informasi berbasis komputer dapat melakukan fungsinya secara lebih
tepat dan cepat serta pemrosesan datanya akan lebih murah bila dibandingkan
dengan sistem manual atau secara konvensional (Wilkinson dan Cerullo, 1997).
Dengan demikian apabila teknologi memiliki peran signifikan dalam
menentukan biaya produksi atau diferensiasi produk, maka teknologi akan
berpengaruh pada dinamika bersaing di tingkat industri dan kinerja suatu
perusahaan (Porter, 1985; Hitt Ireland dan Hoskisson, 1997).
Pada awalnya teknologi informasi dipandang sebagai alat untuk
mendukung kegiatan operasi perusahaan dan membantu terciptanya efektivitas
fungsi manajemen (Ein Dor dan Segev, 1978; Ives et al., 1980). Akan tetapi
dengan berbagai temuan baru dibidang teknologi informasi dan telekomunikasi,
peran teknologi informasi bergeser dari sekedar sebagai alat back office tools
menjadi salah satu bagian penting bagi organisasi untuk berubah secara total
baik perubahan cara bekerja, perubahan integrasi fungsi organisasi dan
hubungan dengan supplier, perubahan cara bersaing, sampai pada perubahan
transformasi organisasi (Rockart dan Morton, 1984; King, 1988; Alter, 1996).
dengan sistem manual atau secara konvensional (Wilkinson dan Cerullo, 1997).
Dengan demikian apabila teknologi memiliki peran signifikan dalam
menentukan biaya produksi atau diferensiasi produk, maka teknologi akan
berpengaruh pada dinamika bersaing di tingkat industri dan kinerja suatu
perusahaan (Porter, 1985; Hitt Ireland dan Hoskisson, 1997).
Pada awalnya teknologi informasi dipandang sebagai alat untuk
mendukung kegiatan operasi perusahaan dan membantu terciptanya efektivitas
fungsi manajemen (Ein Dor dan Segev, 1978; Ives et al., 1980). Akan tetapi
dengan berbagai temuan baru dibidang teknologi informasi dan telekomunikasi,
peran teknologi informasi bergeser dari sekedar sebagai alat back office tools
menjadi salah satu bagian penting bagi organisasi untuk berubah secara total
baik perubahan cara bekerja, perubahan integrasi fungsi organisasi dan
hubungan dengan supplier, perubahan cara bersaing, sampai pada perubahan
transformasi organisasi (Rockart dan Morton, 1984; King, 1988; Alter, 1996).
Dalam literatur manajemen strategik, Hagedoorn (1993) menyatakan
bahwa jenis respon strategik perusahaan terhadap globalisasi akan tergantung
pada jenis tipologi strategi kompetitif perusahaan, sehingga dalam hal ini bisa
dikatakan bahwa tipologi strategi kompetitif berhubungan dengan keinginan
perusahaan untuk melakukan investasi dalam teknologi informasi sebagai respon
strategik terhadap globalisasi. Keputusan untuk melakukan investasi dalam
teknologi investasi menyangkut jumlah yang sangat besar, hal ini menyebabkan
faktor kematangan teknologi informasi berhubungan dengan keinginan manajer
bahwa jenis respon strategik perusahaan terhadap globalisasi akan tergantung
pada jenis tipologi strategi kompetitif perusahaan, sehingga dalam hal ini bisa
dikatakan bahwa tipologi strategi kompetitif berhubungan dengan keinginan
perusahaan untuk melakukan investasi dalam teknologi informasi sebagai respon
strategik terhadap globalisasi. Keputusan untuk melakukan investasi dalam
teknologi investasi menyangkut jumlah yang sangat besar, hal ini menyebabkan
faktor kematangan teknologi informasi berhubungan dengan keinginan manajer
perusahaan memberi keputusan untuk melakukan investasi teknologi informasi
sebagai respon strategik manajer perusahaan terhadap globalisasi (Ein Dor dan
Segev, 1979; McFarlan et al., 1983; Goslar dan Grover, 1993; serta Mata et al.,
1995).
sebagai respon strategik manajer perusahaan terhadap globalisasi (Ein Dor dan
Segev, 1979; McFarlan et al., 1983; Goslar dan Grover, 1993; serta Mata et al.,
1995).
Karimi et al., (1996) memperoleh bukti bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi keinginan perusahaan untuk melakukan investasi dalam
teknologi informasi terdapat tipologi strategi kompetitif dan kematangan
teknologi informasi. Penelitian yang sama telah dilakukan di Indonesia oleh dua
peneliti terdahulu, pertama penelitian yang dilakukan Darmawati (1998) dan
Darmawati dan Indriantoro (1999), dengan subyek beberapa jenis industri yaitu
manufaktur, jasa telekomunikasi, jasa transportasi, asuransi, perusahaan dagang,
dan industri lain.
mempengaruhi keinginan perusahaan untuk melakukan investasi dalam
teknologi informasi terdapat tipologi strategi kompetitif dan kematangan
teknologi informasi. Penelitian yang sama telah dilakukan di Indonesia oleh dua
peneliti terdahulu, pertama penelitian yang dilakukan Darmawati (1998) dan
Darmawati dan Indriantoro (1999), dengan subyek beberapa jenis industri yaitu
manufaktur, jasa telekomunikasi, jasa transportasi, asuransi, perusahaan dagang,
dan industri lain.
Peneliti melakukan penelitian dalam setting yang berbeda dari penelitian
sebelumnya yang telah dilakukan di Indonesia oleh Darmawati (1998) dan
Darmawati dan Indriantoro (1999) dan Arifin (2001). Hasil penelitian Karimi et
al., 1996 menunjukkan bahwa strategi kompetitif, kematangan teknologi
informasi dan ukuran perusahaan berhubungan secara signifikan dengan respon
strategik, Darmawati (1998) dan Darmawati dan Indriantoro (1999), strategi
kompetitif tidak berpengaruh terhadap respon strategik, hanya kematangan
teknologi informasi yang berpengaruh secara signifikan, sedangkan Arifin
(2001), memperoleh hasil bahwa kematangan teknologi informasi berhubungan
secara signifikan terhadap respon strategik, sedangkan tipologi strategi
kompetitif tidak berhubungan secara signifikan dengan respon strategik. Peneliti
sebelumnya yang telah dilakukan di Indonesia oleh Darmawati (1998) dan
Darmawati dan Indriantoro (1999) dan Arifin (2001). Hasil penelitian Karimi et
al., 1996 menunjukkan bahwa strategi kompetitif, kematangan teknologi
informasi dan ukuran perusahaan berhubungan secara signifikan dengan respon
strategik, Darmawati (1998) dan Darmawati dan Indriantoro (1999), strategi
kompetitif tidak berpengaruh terhadap respon strategik, hanya kematangan
teknologi informasi yang berpengaruh secara signifikan, sedangkan Arifin
(2001), memperoleh hasil bahwa kematangan teknologi informasi berhubungan
secara signifikan terhadap respon strategik, sedangkan tipologi strategi
kompetitif tidak berhubungan secara signifikan dengan respon strategik. Peneliti
menduga bahwa perbedaan tersebut disebabkan karena sampel yang berbeda
(tidak konsisten) yaitu sampel Karimi et al., (1996) industri jasa keuangan,
Darmawati dan Indriantoro (1999), manufaktur, jasa telekomunikasi, jasa
transpostasi, bank, jasa keuangan lain, perusahaan dagang dan lainnya, dan
Arifin (2001) pada perusahaan perbankan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peneliti ingin menguji
hubungan tipologi strategi kompetitif dan kematangan teknologi informasi
terhadap respon strategik manajer yang ditunjukkan dengan keinginan
perusahaan manufaktur melakukan penambahan investasi dalam teknologi
informasi.
(tidak konsisten) yaitu sampel Karimi et al., (1996) industri jasa keuangan,
Darmawati dan Indriantoro (1999), manufaktur, jasa telekomunikasi, jasa
transpostasi, bank, jasa keuangan lain, perusahaan dagang dan lainnya, dan
Arifin (2001) pada perusahaan perbankan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peneliti ingin menguji
hubungan tipologi strategi kompetitif dan kematangan teknologi informasi
terhadap respon strategik manajer yang ditunjukkan dengan keinginan
perusahaan manufaktur melakukan penambahan investasi dalam teknologi
informasi.
Dalam penelitian ini, peneliti mengadopsi dua faktor dari penelitian
Karimi et al (1996) pada faktor-faktor yang mempengaruhi respon strategik
manajer perusahaan dalam melakukan investasi teknologi informasi yaitu tipologi
strategi kompetitif dan kematangan teknologi informasi data diambil dari
perusahaan PT Pupuk Kaltim. Alasan mengkhususkan pada industri ini adalah
membedakan dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian pada sektor perbankan,
manufaktur, jasa keuangan, jasa transportasi, jasa telekomunikasi dan lainnya.
Judul penelitian yang peneliti lakukan adalah “PENGARUH TIPOLOGI
STRATEGI KOMPETITIF DAN KEMATANGAN TEKNOLOGI
INFORMASI TERHADAP RESPON STRATEGIK MANAJER (Studi Kasus
Pada Perusahaan PT Pupuk Kalimantan Timur)”.
1.2 Perumusan Masalah
Karimi et al (1996) pada faktor-faktor yang mempengaruhi respon strategik
manajer perusahaan dalam melakukan investasi teknologi informasi yaitu tipologi
strategi kompetitif dan kematangan teknologi informasi data diambil dari
perusahaan PT Pupuk Kaltim. Alasan mengkhususkan pada industri ini adalah
membedakan dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian pada sektor perbankan,
manufaktur, jasa keuangan, jasa transportasi, jasa telekomunikasi dan lainnya.
Judul penelitian yang peneliti lakukan adalah “PENGARUH TIPOLOGI
STRATEGI KOMPETITIF DAN KEMATANGAN TEKNOLOGI
INFORMASI TERHADAP RESPON STRATEGIK MANAJER (Studi Kasus
Pada Perusahaan PT Pupuk Kalimantan Timur)”.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan dari penelitian ini adalah:
1. Apakah Tipologi strategi kompetitif berperan sebagai variabel yang
mempengaruhi respon strategik manajer terhadap keputusan investasi TI
departemen?
2. Apakah kematangan TI berperan sebagai variabel yang mempengaruhi respon
strategik manajer terhadap keputusan investasi TI departemen?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Apakah Tipologi strategi kompetitif berperan sebagai variabel yang
mempengaruhi respon strategik manajer terhadap keputusan investasi TI
departemen?
2. Apakah kematangan TI berperan sebagai variabel yang mempengaruhi respon
strategik manajer terhadap keputusan investasi TI departemen?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti mengenai
pengaruh tipologi strategi kompetitif dan kematangan teknologi terhadap respon
strategik manajer perusahaan PT Pupuk Kaltim untuk melakukan investasi
dalam teknologi informasi. Selain itu, tujuan penelitian ini adalah untuk
melakukan pengujian ulang atas hipotesis yang dinyatakan dalam penelitian
Karimi et al (1996) yaitu:
1. Menguji tipologi strategi kompetitif dengan respon strategik manajer dalam
melakukan investasi dalam TI.
2. Menguji kematangan teknologi informasi dengan respon strategik manajer
dalam melakukan investasi dalam TI.
pengaruh tipologi strategi kompetitif dan kematangan teknologi terhadap respon
strategik manajer perusahaan PT Pupuk Kaltim untuk melakukan investasi
dalam teknologi informasi. Selain itu, tujuan penelitian ini adalah untuk
melakukan pengujian ulang atas hipotesis yang dinyatakan dalam penelitian
Karimi et al (1996) yaitu:
1. Menguji tipologi strategi kompetitif dengan respon strategik manajer dalam
melakukan investasi dalam TI.
2. Menguji kematangan teknologi informasi dengan respon strategik manajer
dalam melakukan investasi dalam TI.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1. Memberikan tambahan penjelasan empiris bagi para praktisi di
lingkungan PT Pupuk Kaltim untuk mengetahui bagaimana pengaruh
tipologi strategi kompetitif dan kematangan teknologi informasi terhadap
keinginan penambahan investasi teknologi informasi di lingkungan
perusahaan PT Pupuk Kalimantan Timur.
1. Memberikan tambahan penjelasan empiris bagi para praktisi di
lingkungan PT Pupuk Kaltim untuk mengetahui bagaimana pengaruh
tipologi strategi kompetitif dan kematangan teknologi informasi terhadap
keinginan penambahan investasi teknologi informasi di lingkungan
perusahaan PT Pupuk Kalimantan Timur.
2. Memberikan tambahan informasi yang diperlukan untuk penelitian
bidang sistem informasi manajemen, manajemen strategik, dan akuntansi
keprilakuan.
3. Memberikan sedikit kontribusi keilmuan yang diharapkan mampu
memberikan manfaatnya didalam dunia pendidikan atau akademis
maupun dalam dunia praktis.
1.4 Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi menjadi 5 bagian dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:
bidang sistem informasi manajemen, manajemen strategik, dan akuntansi
keprilakuan.
3. Memberikan sedikit kontribusi keilmuan yang diharapkan mampu
memberikan manfaatnya didalam dunia pendidikan atau akademis
maupun dalam dunia praktis.
1.4 Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi menjadi 5 bagian dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Pada bab I dijelaskan tentang latar belakang permasalahan yang dipilih
dalam penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan dan kegunaan
penelitian, dan sistematika penulisan dalam penelitian skripsi ini.
Pada bab I dijelaskan tentang latar belakang permasalahan yang dipilih
dalam penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan dan kegunaan
penelitian, dan sistematika penulisan dalam penelitian skripsi ini.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini menjelaskan tentang tentang landasan teori dan penelitian
terdahulu yang melatarbelakangi penelitian ini, kemudian berisi
kerangka pemikiran teoritis dan hipotesis yang diperoleh dari
variabel – variabel penelitian serta dari penelitian terdahulu.
Bab ini menjelaskan tentang tentang landasan teori dan penelitian
terdahulu yang melatarbelakangi penelitian ini, kemudian berisi
kerangka pemikiran teoritis dan hipotesis yang diperoleh dari
variabel – variabel penelitian serta dari penelitian terdahulu.
BAB III : Metode Penelitian
Pada Bab ini akan diuraikan tentang variabel penelitian dan definisi
operasional, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, metode
pengumpulan data, metode analisis, serta tahap pelaksanaan
kegiatan.
Pada Bab ini akan diuraikan tentang variabel penelitian dan definisi
operasional, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, metode
pengumpulan data, metode analisis, serta tahap pelaksanaan
kegiatan.
BAB IV : Hasil dan Pembahasan
Bab ini berisi gambaran obyek penelitian serta menyajikan hasil
penelitian dan pembahasan mengenai masalah yang diteliti.
BAB V : Penutup
Bab ini merupakan bab akhir yang berisi kesimpulan dari hasil
penelitian yang dilakukan dan saran-saran yang diberikan
berdasarkan dari hasil analisis data dan pembahasan.
Bab ini merupakan bab akhir yang berisi kesimpulan dari hasil
penelitian yang dilakukan dan saran-saran yang diberikan
berdasarkan dari hasil analisis data dan pembahasan.
Diferensiasi = Inovasi
Inovasi dibuat berdasarkan perbedaan yang tidak dimiliki oleh para pesaing (Bharadwaj et al., 1993). Menurut Day & Wensley (1988), diferensiasi (pembedaan) produk menghasilkan produk unik yang inovatif dan sulit ditiru oleh pesaing. Ehrenberg et al. (1997) dalam Bharadwaj et al. (1993) berpendapat bahwa tiap inovasi berkekuatan menjual (mempunyai selling point) cenderung diduplikasi dengan cepat oleh pesaing. Karena itu diperlukan diferensiasi yang salah satu keberhasilannya adalah sulitnya inovasi tersebut untuk diduplikasi oleh pesaing.
Menurut Bharadwaj et al. (1993) yang didukung oleh Kirana (1996), terdapat tiga komponen diferensiasi dalam inovasi yang digunakan untuk memperoleh keunggulan bersaing pada perusahaan jasa konstruksi. Adapun ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Produk
Pada perusahaan jasa konstruksi, inovasi teknologi produk merupakan diferensiasi teknologi layanan jasa pembangunan konstruksi. Sebagai contoh, jika sebelumnya hanya melayani pembangunan konstruksi (build) saja, sekarang telah mencakup perencanaan (plan) dan perancangannya (design) yang terkenal dengan istilah design and build. Di mana perencanaan, perancangan dan pembangunan konstruksi selalu memanfaatkan teknologi informasi, terutama untuk koordinasi dan lalu lintas data.
2. Proses
Pada perusahaan jasa konstruksi, inovasi teknologi proses produksi berupa
diferensiasi metode kerja (work method) pelaksanaan pembangunan konstruksi.
Metode kerja terbaik adalah yang paling efisien dengan efektifitas sama.
Sebagai contoh, untuk pembangunan jembatan di atas laut, lebih efisien
digunakan teknologi terbaru yaitu traveller yang berjalan di sepanjang lantai
(deck) jembatan daripada ponton yang berjalan di atas permukaan air laut.
3. Manajemen
Pada perusahaan jasa konstruksi, inovasi teknologi manajerial berupa diferensiasi dalam manajemen konstruksi yang lebih mengarah pada penjadwalan (scheduling) tahap pembangunan konstruksi melalui penggunaan software penjadwalan dan update pekerjaan pembangunan struktur. Semakin cepat selesainya pembanguan konstruksi, semakin efisien penggunaan dana untuk membayar upah tenaga kerja dan sewa peralatan yang merupakan fungsi waktu.
Berdasarkan pendapat Bharadwaj et al. (1993), Day & Wensley (1988) dan Ehrenberg et al. (1997) yang menyatakan bahwa diferensiasi diperlukan, menghasilkan dan merupakan inti dari inovasi, ditarik hipotesis bahwa diferensiasi berdampak positif terhadap inovasi teknologi. Dengan demikian, hipotesis ketujuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. H7 : Diferensiasi berpengaruh positif terhadap Inovasi Teknologi
Menurut Bharadwaj et al. (1993) yang didukung oleh Kirana (1996), terdapat tiga komponen diferensiasi dalam inovasi yang digunakan untuk memperoleh keunggulan bersaing pada perusahaan jasa konstruksi. Adapun ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Produk
Pada perusahaan jasa konstruksi, inovasi teknologi produk merupakan diferensiasi teknologi layanan jasa pembangunan konstruksi. Sebagai contoh, jika sebelumnya hanya melayani pembangunan konstruksi (build) saja, sekarang telah mencakup perencanaan (plan) dan perancangannya (design) yang terkenal dengan istilah design and build. Di mana perencanaan, perancangan dan pembangunan konstruksi selalu memanfaatkan teknologi informasi, terutama untuk koordinasi dan lalu lintas data.
2. Proses
Pada perusahaan jasa konstruksi, inovasi teknologi proses produksi berupa
diferensiasi metode kerja (work method) pelaksanaan pembangunan konstruksi.
Metode kerja terbaik adalah yang paling efisien dengan efektifitas sama.
Sebagai contoh, untuk pembangunan jembatan di atas laut, lebih efisien
digunakan teknologi terbaru yaitu traveller yang berjalan di sepanjang lantai
(deck) jembatan daripada ponton yang berjalan di atas permukaan air laut.
3. Manajemen
Pada perusahaan jasa konstruksi, inovasi teknologi manajerial berupa diferensiasi dalam manajemen konstruksi yang lebih mengarah pada penjadwalan (scheduling) tahap pembangunan konstruksi melalui penggunaan software penjadwalan dan update pekerjaan pembangunan struktur. Semakin cepat selesainya pembanguan konstruksi, semakin efisien penggunaan dana untuk membayar upah tenaga kerja dan sewa peralatan yang merupakan fungsi waktu.
Berdasarkan pendapat Bharadwaj et al. (1993), Day & Wensley (1988) dan Ehrenberg et al. (1997) yang menyatakan bahwa diferensiasi diperlukan, menghasilkan dan merupakan inti dari inovasi, ditarik hipotesis bahwa diferensiasi berdampak positif terhadap inovasi teknologi. Dengan demikian, hipotesis ketujuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. H7 : Diferensiasi berpengaruh positif terhadap Inovasi Teknologi
Konsep Keunggulan Bersaing Berkelanjutan
Day & Wensley (1988) menyatakan bahwa keunggulan bersaing berkelanjutan merupakan bentuk-bentuk strategi untuk membantu peusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pendapat tersebut didukung oleh Ferdinand (2003) yang menyatakan bahwa pada pasar yang bersaing, kemampuan perusahaan menghasilkan kinerja, terutama kinerja keuangan, sangat bergantung pada derajad keunggulan kompetitifnya. Untuk melanggengkan keberadaannya, keunggulan bersaing perusahaan tersebut juga harus berkelanjutan (sustainable) karena pada dasarnya perusahaan ingin melanggengkan keberadaannya.
Keunggulan bersaing berkelanjutan merupakan strategi perusahaan untuk mencapai tujuan akhirnya, yaitu kinerja yang menghasilkan keuntungan (profit) tinggi. Artinya, keunggulan bersaing berkelanjutan bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir peusahaan, yaitu kinerja tinggi.
Berdasarkan teori berbasis sumber daya (resource based theory), Barney (1991) dalam Hoffman (2000) mengajukan definisi formal yang lebih dekat dengan pengertian keunggulan bersaing berkelanjutan yang sering dipakai saat ini, yaitu keunggulan yang dicapai secara terus menerus dengan mengimplementasikan strategi pencapaian nilai-nilai unik yang tidak dimiliki pesaing. Lebih lanjut dikatakan bahwa perusahaan dikatakan memiliki keunggulan bersaing berkelanjutan jika perusahaan tersebut mampu menciptakan
nilai yang pada saat tersebut tidak sedang dilakukan baik oleh kompetitor maupun calon kompetitor dan perusahaan-perusahaan lain tidak mampu meniru kelebihan strategi ini. Sumber daya perusahaan memiliki potensi keunggulan bersaing jika memliki empat atribut, yaitu:
1. Kelangkaan
2. Nilai
3. Tidak dapat ditiru
4. Tidak dapat diganti.
Day & Wensley dalam Hoffman (2000) berpendapat bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi upaya perusahaan dalam rangka menciptakan keunggulan bersaing mereka, yaitu:
1. Kapabilitas yang unggul.
2. Sumber Daya yang Unggul.
Pendapat di atas didukung oleh Ferdinand (2003) yang menyatakan bahwa berdasarkan teori berbasis sumber daya, esensi keunggulan bersaing adalah kombinasi unik dari sumber daya dan kapabilitas. Sedangkan untuk melanggengkan keunggulan bersaing tersebut, perusahaan seharusnya memiliki
sumber daya dan kapabilitas yang khas (company specific).
Dengan mendasarkan pada seluruh pendapat di atas, maka keunggulan bersaing berkelanjutan didefinisikan sebagai keunggulan yang dicapai secara terus menerus dengan mengimplementasikan strategi pencapaian nilai-nilai unik yang tidak sedang diimplementasikan baik oleh pesaing maupun calon pesaing karena ketidakmampuan mereka dalam meniru strategi tesebut.
Keunggulan bersaing berkelanjutan merupakan strategi perusahaan untuk mencapai tujuan akhirnya, yaitu kinerja yang menghasilkan keuntungan (profit) tinggi. Artinya, keunggulan bersaing berkelanjutan bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir peusahaan, yaitu kinerja tinggi.
Berdasarkan teori berbasis sumber daya (resource based theory), Barney (1991) dalam Hoffman (2000) mengajukan definisi formal yang lebih dekat dengan pengertian keunggulan bersaing berkelanjutan yang sering dipakai saat ini, yaitu keunggulan yang dicapai secara terus menerus dengan mengimplementasikan strategi pencapaian nilai-nilai unik yang tidak dimiliki pesaing. Lebih lanjut dikatakan bahwa perusahaan dikatakan memiliki keunggulan bersaing berkelanjutan jika perusahaan tersebut mampu menciptakan
nilai yang pada saat tersebut tidak sedang dilakukan baik oleh kompetitor maupun calon kompetitor dan perusahaan-perusahaan lain tidak mampu meniru kelebihan strategi ini. Sumber daya perusahaan memiliki potensi keunggulan bersaing jika memliki empat atribut, yaitu:
1. Kelangkaan
2. Nilai
3. Tidak dapat ditiru
4. Tidak dapat diganti.
Day & Wensley dalam Hoffman (2000) berpendapat bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi upaya perusahaan dalam rangka menciptakan keunggulan bersaing mereka, yaitu:
1. Kapabilitas yang unggul.
2. Sumber Daya yang Unggul.
Pendapat di atas didukung oleh Ferdinand (2003) yang menyatakan bahwa berdasarkan teori berbasis sumber daya, esensi keunggulan bersaing adalah kombinasi unik dari sumber daya dan kapabilitas. Sedangkan untuk melanggengkan keunggulan bersaing tersebut, perusahaan seharusnya memiliki
sumber daya dan kapabilitas yang khas (company specific).
Dengan mendasarkan pada seluruh pendapat di atas, maka keunggulan bersaing berkelanjutan didefinisikan sebagai keunggulan yang dicapai secara terus menerus dengan mengimplementasikan strategi pencapaian nilai-nilai unik yang tidak sedang diimplementasikan baik oleh pesaing maupun calon pesaing karena ketidakmampuan mereka dalam meniru strategi tesebut.
STRATEGI PENINGKATAN KEUNGGULAN BERSAING BERKELANJUTAN MELALUI KINERJA TEKNOLOGI INFORMASI DAN INOVASI TEKNOLOGI (Studi Empiris pada Perusahaan Jasa Konstruksi Swasta Skala Besar di Indonesia)
STRATEGI PENINGKATAN KEUNGGULAN
BERSAING BERKELANJUTAN MELALUI
KINERJA TEKNOLOGI INFORMASI DAN
INOVASI TEKNOLOGI
(Studi Empiris pada Perusahaan Jasa Konstruksi Swasta Skala Besar di
Indonesia)
Nur Farih Hakim, ST
NIM : C4A005213
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam era globalisasi sekarang ini, semakin banyak perusahaan-peruahaan berskala besar luar negeri yang masuk ke Indonesia, dalam hal iniperusahaan jasa konstruksi modal asing bersakala besar. Menurut Badan PembinaKonstruksi dan Investasi (Bapekin) dalam Departemen Pemukiman dan PrasaranaWilayah (Kimpraswil), perusahaan jasa konstruksi dibagi menjadi tiga kelompokberdasarkan kekayaannya, yaitu:
1. Klasifikasi K (Kecil), Perusahaan jasa konstruksi dengan kekayaan kurang dari 5 milyar rupiah.
2. Klasifikasi M (Menengah), Perusahaan jasa konstruksi dengan kekayaan mulai 5 milyar rupiah sampai
dengan 10 milyar rupiah.
3. Klasifikasi B (Besar), Perusahaan jasa konstruksi dengan kekayaan lebih dari 10 milyar rupiah.
Perusahaan jasa konstruksi berskala besar termasuk dalam Klasifikasi B (Besar).
Tabel 1.1 di bawah ini menunjukkan jumlah perusahaan jasa konstruksi Indonesia dan modal asing Klasifikasi B yang berdiri di Indonesia selama tiga tahun
terakhir. Walaupun jumlah perusahaan jasa konstruksi asing berskala besar
tersebut masih terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah perusahaan jasa
konstruksi Indonesia berskala besar, tetapi kecenderungan ini mengindikasikan
persaingan yang semakin tajam, baik antara perusahaan jasa konstruksi Indonesia
dan asing berskala besar maupun antar perusahaan jasa konstruksi Indonesia
berskala besar sendiri. Berdasarkan fenomena di atas, seharusnya setiap
perusahaan jasa konstruksi Indonesia menciptakan keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan (sustainable competitive advantage, selanjutnya disebut SCA) agar
dapat menjaga kelangsungan hidupnya dalam persaingan global dunia bisnis jasa
konstruksi.
Keunggulan kompetitif berkelanjutan merupakan arah strategi
perusahaan yang bukan merupakan tujuan akhir, tetapi merupakan alat untuk
mencapai tujuan perusahaan, yaitu kinerja perusahaan yang menghasilkan
keuntungan (profit) relatif tinggi (Ferdinand, 2003). Pencapaian SCA dilakukan
dengan diferensiasi melalui inovasi teknologi (Stern & Henderson, 2004). Oleh
karena itu, inovasi teknologi diduga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
SCA perusahaan jasa konstruksi.
Perusahaan jasa konstruksi tidak dapat lepas dari teknologi. Oleh karena
itu, diperlukan inovasi teknologi untuk mencapai keunggulan kompetitif yang
tinggi. Inovasi teknologi ini terutama diperlukan bagi perusahaan jasa konstruksi
Klasifikasi B. Sebagai contoh inovasi teknologi pembuatan pilar jalan layang oleh
direktur utama PT Hutama Karya yang terkenal dengan nama Sosrobahu, inovasi
teknologi pondasi bandara Soekarno-Hatta dengan nama Cakar Ayam dan
penggunaan traveller pada pembangunan konstruksi lantai utama (deck) jembatan
panjang. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, inovasi tersebut telah menjadi hal
yang umum. Kecuali Sosrobahu yang merupakan inovasi internal PT Hutama
Karya, hampir seluruh lisensi inovasi teknologi telah diambil alih oleh perusahaan
jasa konstruksi skala besar lain, sehingga inovasi teknologi tersebut bukan lagi
merupakan diferensiasi dari perusahaan pemilik inovasi. Alih inovasi teknologi ini
baik dikarenakan terlalu sederhananya inovasi teknologi yang dilakukan sehingga
mudah ditiru, maupun dibeli oleh perusahaan jasa konstruksi lain yang lebih besar
untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi innvasi baru. Oleh karena itu, penting
bagi perusahaan jasa konstruksi skala besar yang mampu menyelenggarakan riset
ilmiah untuk menciptakan inovasi teknologi internal peruahaan yang tidak dapat
diadopsi oleh perushaan lain. Inovasi tersebut harus efisien dan efektif, yaitu
sederhana dan murah (efisien) tetapi berdaya guna optimal (efektif).
Permasalahannya, seberapa jauh inovasi mempengaruhi strategi keunggulan
bersaing berkelanjutan. Permasalahan ini muncul karena di satu sisi inovasi
dituntut sederhana, tetapi di sisi lain inovasi juga harus sulit ditiru, yaitu
mengandung derajad kerumitan (kompleksitas) tinggi.
Menurut Hurley & Hult (1998) dalam Wahyono (2002), perusahaan
dengan kapasitas inovasi besar akan lebih berhasil dalam merespon lingkungan
(dalam hal ini lingkungan pasar bisnis jasa konstruksi) dan mengembangkan
kemampuan baru yang mendukung strategi keunggulan bersaing berkelanjutan.
Bharadwaj et al. (1993) berpendapat bahwa inovasi dapat digunakan untuk
memperoleh keunggulan bersaing berkelanjutan yang tinggi. Kemampuan untuk
bisa ditiru (imitability) inovasi akan dihalangi oleh kompleksitas dan jumlah aset
khusus (special assets). Teece (1998) menyatakan bahwa kompleksitas aset-aset
unik yang dikhususkan akan melindungi inovasi dari tindakan peniruan oleh
kompetitor dan meningkatkan nilai (value) produk. Pendapat tersebut didukung
oleh Bharadwaj et al. (1993) yang menyatakan bahwa kompleksitas aset-aset
khusus mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap keunggulan bersaing
berkelanjutan melalui inovasi, dalam hal ini inovasi teknologi.
Selain inovasi, perusahaan jasa konstruksi tidak bisa lepas dari aplikasi
teknologi informasi (information technology, selanjutnya disebut IT), mulai dari
analisis struktur, penyajian gambar teknik dan artistik, hingga lalu lintas (transfer)
data. Teknologi informasi mempermudah akses informasi dan menjadikan fungsi-
fungsi di dalam organisasi lebih terkait sehingga kapabilitas organisasi meningkat
yang selanjutnya akan meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan (Holland,
Lockett dan Blackman, 1992). Oleh karena itu, kinerja teknologi informasi
(selanjutnya disebut IT Performance) pada perusahaan jasa konstruksi
mencerminkan kinerja peusahaan secara keseluruhan yang berpengaruh positif
pada SCA (Goodhue et al., 1996).
Menurut Goodhue et al. (1996), kendala utama yang muncul akibat
ketertinggalan dalam perkembangan unit dan sistem teknologi informasi adalah
relatif menurunnya kecepatan komputasi dan lalu lintas data dibandingkan dengan
perusahaan pesaing. Masih menurut Goodhue et al. (1996), teknologi informasi
yang digunakan juga harus efektif, yaitu selaras dengan tujuan strategis
perusahaan, agar tercipta efisiensi optimal. Dari kedua pendapat di atas, dapat
dikatakan bahwa kinerja teknologi informasi merupakan kecepatan komputasi,
kecepatan lalu lintas data dan keselarasannya dengan tujuan strategis perusahaan.
Untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, perusahaan jasa
konstruksi seharusnya mengikuti perkembangan teknologi informasi untuk
meningkatkan kinerjanya dan segera menerapkannya secara efektif dan efisien.
Pertanyaannya, apakah kinerja teknologi informasi benar-benar
berhubungan kausal positif terhadap SCA. Pertanyaan tersebut muncul dari
kenyataan bahwa beberapa perusahaan yang menggunakan teknologi informasi
sama, menghasilkan SCA yang berbeda. Penelitian Mukhopaday et al (1997)
menunjukkan hubungan positif antara pengaruh teknologi informasi terhadap
proses produksi yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas produk sehingga
meningkatkan SCA. Akan tetapi pada penelitian Banker dan Kauffman (1988)
dalam Powell dan Micallef (1997) menunjukkan hubungan tidak signifikan antara
aplikasi teknologi informasi dengan SCA. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh
Kettinger, Grover, Guha dan Segars (1994) dalam Powell dan Micallef (1997)
terhadap 30 kasus teknologi informasi dari tahun 1970-an sampai dengan 1980-an
menunjukkan bahwa selama 5 tahun penerapan teknologi informasi, 21 dari 30
prusahaan tersebut mengalami penurunan keunggulan bersaing dalam pangsa
pasar, keuntungan atau keduanya. Munculnya resource based theory mulai
memperjelas hubungan antara kinerja teknologi informasi dengan SCA. Konsep
dasar resource based theory menyatakan bahwa basis bagi SCA adalah
terdapatnya kombinasi unik sumber daya dan kapabilitasnya (Ferdinand, 2003).
Benjamin & Levinson (1993) mengklasifikasi sumber daya menjadi tiga, yaitu:
1. Budaya orgasnisasi.
Anggota organisasi merupakan pengendali, perancang dan perencana sistem
teknologi informasi.
2. Sumber daya bisnis (selajutnya disebut business resource), yaitu keselarasan
sistem IT dengan manajemen bisnis.
3. Sumber daya teknologi (selanjutnya disebut technology resource) yang
digunakan dalam perangkat sistem IT.
Lebih lanjut dikatakan bahwa keberhasilan kinerja teknologi informasi tergantung
pada integrasi ketiga sumber daya ini. Keen (1993) membagi sumber daya
perusahaan menjadi sumber daya manusia dalam organisasi, bisnis dan teknologi
serta mengembangkan kerangka fusi yang sangat terkait resource based theory
dengan mengemukakan bahwa kunci keberhasilan teknologi informasi terletak
pada kapasitas organisasi untuk memfungsikan teknolgi informasi dengan
keunggulan spesifik perusahaan yang tertanam dalam sumber daya manusia dalam
organisasi, sumber daya bisnis dan sumber daya teknologi yang telah ada.
Clemons dan Row (1993) mengemukakan bahwa teknologi informasi
menciptakan keunggulan dengan menggunakan atau mengeksploitasi sumber daya
manusia dan bisnis yang telah ada.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan fenomena di atas, inti permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimana meningkatkan keunggulan bersaing berkelanjutan pada
perusahaan jasa konstruksi melalui kinerja teknologi informasi dan inovasi
teknologi. Dari perumusan masalah tersebut, dapat diturunkan pertanyaan
penelitian sebagai berikut.
1. Apakah kinerja teknologi informasi (IT performance) memberikan pengaruh
positif terhadap keunggulan bersaing berkelanjutan (SCA)?
2. Apakah budaya organisasi memberikan pengaruh positif terhadap kinerja
teknologi informasi (IT perform`nce)?
3. Apakah sumber daya bisnis (business resource) memberikan pengaruh positif
terhadap IT performance?
4. Apakah sumber daya teknologi (technology resource) memberikan pengaruh
positif terhadap IT performance?
5. Apakah inovasi teknologi memberikan pengaruh positif terhadap keunggulan
bersaing berkelanjutan?
6. Apakah kompleksitas aset khusus memberikan pengaruh positif terhadap
inovasi teknologi?
7. Apakah diferensiasi memberikan pengaruh positif terhadap inovasi teknologi?
1.3. Batasan Penelitian
Pelitian ini hanya berfokus pada unit dan sistem teknologi informasi di
dalam kantor perusahan jasa konstruksi serta lalu lintas (transfer) data antar
bagian dalam kantor dan antara kantor dengan lapangan (site).
Inovasi teknologi meliputi seluruh aspek, tetapi hanya dibahas yang
mempunyai dampak positif pada dunia kontruksi gedung, jalan, bangunan air dan
jembatan karena perusahaan jasa konstruksi skala besar Indonesia hanya
menangani proyek di dunia teknik sipil (civil engineering) yang meliputi
konstruksi gedung, jalan, bangunan air dan jembatan termasuk aspek
geotekniknya.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh IT performance terhadap kdunggulan bersaing
berkelanjutan.
2. Menganalisis pengaruh budaya organisasi terhadap IT performance.
3. Menganalisis pengaruh business resource terhadap IT performance.
4. Menganalisis pengaruh technology resource terhadap IT performance.
5. Menganalisis pengaruh inovasi teknologi terhadap keunggulan bersaing
berkelanjutan.
6. Menganalisis pengaruh kompleksitas aset khusus terhadap inovasi teknologi.
7. Menganalisis pengaruh diferensiasi terhadap inovasi teknologi.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1. Akademisi bidang manajemen stratejik untuk mengetahui secara lebih baik
pengaruh IT perfomance dan inovasi teknologi terhadap keunggulan bersaing
berkelanjutan.
2. Memberikan sumbangan pengembangan ilmu pengetahuan kepada peneliti
berikutnya, khususnya di bidang manajemen stratejik.
3. Bahan pertimbangan untuk mengambil kebijakan dalam manajemen stratejik
pada perusahaan jasa konstruksi.
full download PDF - konsultasi gratis via facebook
BERSAING BERKELANJUTAN MELALUI
KINERJA TEKNOLOGI INFORMASI DAN
INOVASI TEKNOLOGI
(Studi Empiris pada Perusahaan Jasa Konstruksi Swasta Skala Besar di
Indonesia)
Nur Farih Hakim, ST
NIM : C4A005213
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam era globalisasi sekarang ini, semakin banyak perusahaan-peruahaan berskala besar luar negeri yang masuk ke Indonesia, dalam hal iniperusahaan jasa konstruksi modal asing bersakala besar. Menurut Badan PembinaKonstruksi dan Investasi (Bapekin) dalam Departemen Pemukiman dan PrasaranaWilayah (Kimpraswil), perusahaan jasa konstruksi dibagi menjadi tiga kelompokberdasarkan kekayaannya, yaitu:
1. Klasifikasi K (Kecil), Perusahaan jasa konstruksi dengan kekayaan kurang dari 5 milyar rupiah.
2. Klasifikasi M (Menengah), Perusahaan jasa konstruksi dengan kekayaan mulai 5 milyar rupiah sampai
dengan 10 milyar rupiah.
3. Klasifikasi B (Besar), Perusahaan jasa konstruksi dengan kekayaan lebih dari 10 milyar rupiah.
Perusahaan jasa konstruksi berskala besar termasuk dalam Klasifikasi B (Besar).
Tabel 1.1 di bawah ini menunjukkan jumlah perusahaan jasa konstruksi Indonesia dan modal asing Klasifikasi B yang berdiri di Indonesia selama tiga tahun
terakhir. Walaupun jumlah perusahaan jasa konstruksi asing berskala besar
tersebut masih terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah perusahaan jasa
konstruksi Indonesia berskala besar, tetapi kecenderungan ini mengindikasikan
persaingan yang semakin tajam, baik antara perusahaan jasa konstruksi Indonesia
dan asing berskala besar maupun antar perusahaan jasa konstruksi Indonesia
berskala besar sendiri. Berdasarkan fenomena di atas, seharusnya setiap
perusahaan jasa konstruksi Indonesia menciptakan keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan (sustainable competitive advantage, selanjutnya disebut SCA) agar
dapat menjaga kelangsungan hidupnya dalam persaingan global dunia bisnis jasa
konstruksi.
Keunggulan kompetitif berkelanjutan merupakan arah strategi
perusahaan yang bukan merupakan tujuan akhir, tetapi merupakan alat untuk
mencapai tujuan perusahaan, yaitu kinerja perusahaan yang menghasilkan
keuntungan (profit) relatif tinggi (Ferdinand, 2003). Pencapaian SCA dilakukan
dengan diferensiasi melalui inovasi teknologi (Stern & Henderson, 2004). Oleh
karena itu, inovasi teknologi diduga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
SCA perusahaan jasa konstruksi.
Perusahaan jasa konstruksi tidak dapat lepas dari teknologi. Oleh karena
itu, diperlukan inovasi teknologi untuk mencapai keunggulan kompetitif yang
tinggi. Inovasi teknologi ini terutama diperlukan bagi perusahaan jasa konstruksi
Klasifikasi B. Sebagai contoh inovasi teknologi pembuatan pilar jalan layang oleh
direktur utama PT Hutama Karya yang terkenal dengan nama Sosrobahu, inovasi
teknologi pondasi bandara Soekarno-Hatta dengan nama Cakar Ayam dan
penggunaan traveller pada pembangunan konstruksi lantai utama (deck) jembatan
panjang. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, inovasi tersebut telah menjadi hal
yang umum. Kecuali Sosrobahu yang merupakan inovasi internal PT Hutama
Karya, hampir seluruh lisensi inovasi teknologi telah diambil alih oleh perusahaan
jasa konstruksi skala besar lain, sehingga inovasi teknologi tersebut bukan lagi
merupakan diferensiasi dari perusahaan pemilik inovasi. Alih inovasi teknologi ini
baik dikarenakan terlalu sederhananya inovasi teknologi yang dilakukan sehingga
mudah ditiru, maupun dibeli oleh perusahaan jasa konstruksi lain yang lebih besar
untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi innvasi baru. Oleh karena itu, penting
bagi perusahaan jasa konstruksi skala besar yang mampu menyelenggarakan riset
ilmiah untuk menciptakan inovasi teknologi internal peruahaan yang tidak dapat
diadopsi oleh perushaan lain. Inovasi tersebut harus efisien dan efektif, yaitu
sederhana dan murah (efisien) tetapi berdaya guna optimal (efektif).
Permasalahannya, seberapa jauh inovasi mempengaruhi strategi keunggulan
bersaing berkelanjutan. Permasalahan ini muncul karena di satu sisi inovasi
dituntut sederhana, tetapi di sisi lain inovasi juga harus sulit ditiru, yaitu
mengandung derajad kerumitan (kompleksitas) tinggi.
Menurut Hurley & Hult (1998) dalam Wahyono (2002), perusahaan
dengan kapasitas inovasi besar akan lebih berhasil dalam merespon lingkungan
(dalam hal ini lingkungan pasar bisnis jasa konstruksi) dan mengembangkan
kemampuan baru yang mendukung strategi keunggulan bersaing berkelanjutan.
Bharadwaj et al. (1993) berpendapat bahwa inovasi dapat digunakan untuk
memperoleh keunggulan bersaing berkelanjutan yang tinggi. Kemampuan untuk
bisa ditiru (imitability) inovasi akan dihalangi oleh kompleksitas dan jumlah aset
khusus (special assets). Teece (1998) menyatakan bahwa kompleksitas aset-aset
unik yang dikhususkan akan melindungi inovasi dari tindakan peniruan oleh
kompetitor dan meningkatkan nilai (value) produk. Pendapat tersebut didukung
oleh Bharadwaj et al. (1993) yang menyatakan bahwa kompleksitas aset-aset
khusus mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap keunggulan bersaing
berkelanjutan melalui inovasi, dalam hal ini inovasi teknologi.
Selain inovasi, perusahaan jasa konstruksi tidak bisa lepas dari aplikasi
teknologi informasi (information technology, selanjutnya disebut IT), mulai dari
analisis struktur, penyajian gambar teknik dan artistik, hingga lalu lintas (transfer)
data. Teknologi informasi mempermudah akses informasi dan menjadikan fungsi-
fungsi di dalam organisasi lebih terkait sehingga kapabilitas organisasi meningkat
yang selanjutnya akan meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan (Holland,
Lockett dan Blackman, 1992). Oleh karena itu, kinerja teknologi informasi
(selanjutnya disebut IT Performance) pada perusahaan jasa konstruksi
mencerminkan kinerja peusahaan secara keseluruhan yang berpengaruh positif
pada SCA (Goodhue et al., 1996).
Menurut Goodhue et al. (1996), kendala utama yang muncul akibat
ketertinggalan dalam perkembangan unit dan sistem teknologi informasi adalah
relatif menurunnya kecepatan komputasi dan lalu lintas data dibandingkan dengan
perusahaan pesaing. Masih menurut Goodhue et al. (1996), teknologi informasi
yang digunakan juga harus efektif, yaitu selaras dengan tujuan strategis
perusahaan, agar tercipta efisiensi optimal. Dari kedua pendapat di atas, dapat
dikatakan bahwa kinerja teknologi informasi merupakan kecepatan komputasi,
kecepatan lalu lintas data dan keselarasannya dengan tujuan strategis perusahaan.
Untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, perusahaan jasa
konstruksi seharusnya mengikuti perkembangan teknologi informasi untuk
meningkatkan kinerjanya dan segera menerapkannya secara efektif dan efisien.
Pertanyaannya, apakah kinerja teknologi informasi benar-benar
berhubungan kausal positif terhadap SCA. Pertanyaan tersebut muncul dari
kenyataan bahwa beberapa perusahaan yang menggunakan teknologi informasi
sama, menghasilkan SCA yang berbeda. Penelitian Mukhopaday et al (1997)
menunjukkan hubungan positif antara pengaruh teknologi informasi terhadap
proses produksi yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas produk sehingga
meningkatkan SCA. Akan tetapi pada penelitian Banker dan Kauffman (1988)
dalam Powell dan Micallef (1997) menunjukkan hubungan tidak signifikan antara
aplikasi teknologi informasi dengan SCA. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh
Kettinger, Grover, Guha dan Segars (1994) dalam Powell dan Micallef (1997)
terhadap 30 kasus teknologi informasi dari tahun 1970-an sampai dengan 1980-an
menunjukkan bahwa selama 5 tahun penerapan teknologi informasi, 21 dari 30
prusahaan tersebut mengalami penurunan keunggulan bersaing dalam pangsa
pasar, keuntungan atau keduanya. Munculnya resource based theory mulai
memperjelas hubungan antara kinerja teknologi informasi dengan SCA. Konsep
dasar resource based theory menyatakan bahwa basis bagi SCA adalah
terdapatnya kombinasi unik sumber daya dan kapabilitasnya (Ferdinand, 2003).
Benjamin & Levinson (1993) mengklasifikasi sumber daya menjadi tiga, yaitu:
1. Budaya orgasnisasi.
Anggota organisasi merupakan pengendali, perancang dan perencana sistem
teknologi informasi.
2. Sumber daya bisnis (selajutnya disebut business resource), yaitu keselarasan
sistem IT dengan manajemen bisnis.
3. Sumber daya teknologi (selanjutnya disebut technology resource) yang
digunakan dalam perangkat sistem IT.
Lebih lanjut dikatakan bahwa keberhasilan kinerja teknologi informasi tergantung
pada integrasi ketiga sumber daya ini. Keen (1993) membagi sumber daya
perusahaan menjadi sumber daya manusia dalam organisasi, bisnis dan teknologi
serta mengembangkan kerangka fusi yang sangat terkait resource based theory
dengan mengemukakan bahwa kunci keberhasilan teknologi informasi terletak
pada kapasitas organisasi untuk memfungsikan teknolgi informasi dengan
keunggulan spesifik perusahaan yang tertanam dalam sumber daya manusia dalam
organisasi, sumber daya bisnis dan sumber daya teknologi yang telah ada.
Clemons dan Row (1993) mengemukakan bahwa teknologi informasi
menciptakan keunggulan dengan menggunakan atau mengeksploitasi sumber daya
manusia dan bisnis yang telah ada.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan fenomena di atas, inti permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimana meningkatkan keunggulan bersaing berkelanjutan pada
perusahaan jasa konstruksi melalui kinerja teknologi informasi dan inovasi
teknologi. Dari perumusan masalah tersebut, dapat diturunkan pertanyaan
penelitian sebagai berikut.
1. Apakah kinerja teknologi informasi (IT performance) memberikan pengaruh
positif terhadap keunggulan bersaing berkelanjutan (SCA)?
2. Apakah budaya organisasi memberikan pengaruh positif terhadap kinerja
teknologi informasi (IT perform`nce)?
3. Apakah sumber daya bisnis (business resource) memberikan pengaruh positif
terhadap IT performance?
4. Apakah sumber daya teknologi (technology resource) memberikan pengaruh
positif terhadap IT performance?
5. Apakah inovasi teknologi memberikan pengaruh positif terhadap keunggulan
bersaing berkelanjutan?
6. Apakah kompleksitas aset khusus memberikan pengaruh positif terhadap
inovasi teknologi?
7. Apakah diferensiasi memberikan pengaruh positif terhadap inovasi teknologi?
1.3. Batasan Penelitian
Pelitian ini hanya berfokus pada unit dan sistem teknologi informasi di
dalam kantor perusahan jasa konstruksi serta lalu lintas (transfer) data antar
bagian dalam kantor dan antara kantor dengan lapangan (site).
Inovasi teknologi meliputi seluruh aspek, tetapi hanya dibahas yang
mempunyai dampak positif pada dunia kontruksi gedung, jalan, bangunan air dan
jembatan karena perusahaan jasa konstruksi skala besar Indonesia hanya
menangani proyek di dunia teknik sipil (civil engineering) yang meliputi
konstruksi gedung, jalan, bangunan air dan jembatan termasuk aspek
geotekniknya.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh IT performance terhadap kdunggulan bersaing
berkelanjutan.
2. Menganalisis pengaruh budaya organisasi terhadap IT performance.
3. Menganalisis pengaruh business resource terhadap IT performance.
4. Menganalisis pengaruh technology resource terhadap IT performance.
5. Menganalisis pengaruh inovasi teknologi terhadap keunggulan bersaing
berkelanjutan.
6. Menganalisis pengaruh kompleksitas aset khusus terhadap inovasi teknologi.
7. Menganalisis pengaruh diferensiasi terhadap inovasi teknologi.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1. Akademisi bidang manajemen stratejik untuk mengetahui secara lebih baik
pengaruh IT perfomance dan inovasi teknologi terhadap keunggulan bersaing
berkelanjutan.
2. Memberikan sumbangan pengembangan ilmu pengetahuan kepada peneliti
berikutnya, khususnya di bidang manajemen stratejik.
3. Bahan pertimbangan untuk mengambil kebijakan dalam manajemen stratejik
pada perusahaan jasa konstruksi.
full download PDF - konsultasi gratis via facebook
ANALISIS PENGARUH PERENCANAAN STRATEGI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN DALAM UPAYA MENCIPTAKAN KEUNGGULAN BERSAING (Studi Empirik pada Industri Kecil Menengah Tenun Ikat di Troso, Jepara)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia dan era perdagangan
bebas, usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia juga dapat diharapkan menjadi
salah satu pemain penting. UKM diharapkan sebagai pencipta pasar di dalam
maupun di luar negeri dan sebagai salah satu sumber penting bagi surplus neraca
perdagangan dan jasa atau neraca pembayaran. Untuk melaksanakan peranan
tersebut, UKM Indonesia harus membenahi diri, yakni menciptakan daya saing
globalnya (Supratiwi & Isnalita,2003).
Secara nasional, usaha kecil dan menengah mempunyai kedudukan, potensi
dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam rangka mewujudkan tujuan
pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada
khususnya. Peran ini dapat dilihat dalam hal penyediaan kesempatan usaha,
lapangan kerja dan peningkatan ekspor. Dapat dilihat bahwa usaha kecil dan
menengah lebih mampu untuk bertahan lebih lama dari krisis ekonomi, karena
mempunyai karakteristik yang lebih fleksibel dan lebih memanfaatkan sumber
daya lokal sehingga bisa diandalkan untuk mendukung ketahanan ekonomi.
Namun demikian usaha kecil menengah dalam perkembangannya masih
menghadapi berbagai persoalan yang perlu mendapat perhatian dari berbagai
pihak antara lain (Riyadi,2001) : (1) rendahnya produktivitas, sumber daya
manusia dan manajemen yang belum profesional, kurang tanggap terhadap
perubahan teknologi dan kurangnya permodalan, (2) akses pasar yang belum
memadai, termasuk di dalamnya jaringan distribusi yang berfungsi sebagai jalur
pemasaran belum berjalan efisien, (3) belum adanya tanda-tanda membaiknya
perekonomian nasional serta (4) tantangan dari perkembangan perdagangan bebas
baik dalam rangka kerjasama AFTA, APEC, dan GATT/WTO yang akan
membawa dampak pada peningkatan persaingan usaha.
Berbagai persoalan diatas dapat diatasi apabila para pengusaha kecil dan
menengah mampu mengembangkan usahanya secara kreatif dan inovatif dengan
selalu berorientasi pada pasar, peningkatan kualitas, produktivitas dan daya saing
dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dan selalu mengikuti perkembangan
informasi dan teknologi. Oleh karena itu perlu kebijakan pembinaan dan
pengembangan usaha kecil dan menengah yang dapat mendorong ke arah yang
lebih maju dan mandiri serta mampu meningkatkan perannya dalam
perekonomian nasional (Riyadi,2001).
Data dari Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah
(Menekop & PKM) menunjukkan bahwa pada tahun 2000, ada sekitar 38,99 juta
usaha kecil dengan rata-rata penjualan per tahun kurang dari Rp 1 Milyar atau
sekitar 99,85 % dari jumlah perusahaan di Indonesia ( Tambunan, 2001)
Walaupun keberadaan UKM dan IKM sangat berperan dalam perkembangan
keadaan perekonomian, akan tetapi karakteristik yang melekat pada UKM bisa
merupakan kelebihan atau kekuatan yang justru menjadi penghambat
perkembangannya (growth constraints). Kombinasi dari kekuatan dan kelemahan
serta adanya peluang dan tantangan dari kesemuanya dengan keadaan situasi
ekternal akan mampu menentukan prospek perkembangan UKM itu sendiri.
Organisasi yang baik adalah yang memiliki tujuan jelas berdasarkan visi dan
misi yang disepakati pendirinya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dibutuhkan
cara untuk mencapainya yang lazim disebut sebagai strategi. Selanjutnya disusun
rencana (plan) , kebijakan (policies) hingga pencapaian dan program aksi. Dalam
penerapannya, bisa saja unsur diatas mengalami perubahan sebagai akibat dari
tidak terpenuhinya asumsi-asumsi yang dipakai dalam perencanaan, misalnya
karena sumber daya yang didapat tidak sesuai dengan harapan. Bisa pula
disebabkan oleh tujuan yang terlalu abstrak sehingga sangat jauh dari apa yang
diharapkan. Setiap organisasi tentu memiliki perencanaan, dan bagi lingkup
perusahaan kita mengenal istilah perencanaan stratejik, dimana perencanaan
stratejik ini dapat membantu kita mengevaluasi secara berkala untuk mencapai
tujuan, membantu perusahaan untuk maju dan berkembang, memperbesar pangsa
pasar di tengah persaingan usaha yang semakin tajam (Allison &Kaye, 2005).
Salah satu kunci keberhasilan dari perencanaan stratejik adalah pada
pemilihan pasar dan penentuan bagaimana berkompetisi di tengah persaingan
yang ada (Hooley,Moller & Broderick,1998; Sashi & Stern,1995 ). Letak dari
persaingan adalah diferensiasi produk dan jasa dalam pasar yang terpilih bagi para
pesaing mereka. Mengacu pada ide Porter (1980) mengenai keunggulan bersaing
dapat dicapai melalui bermacam strategi salah satunya dengan strategi bisnis baik
itu cost leadership, differentiation maupun focus.
Perkembangan dunia usaha dalam bidang perusahaan industri yang berubah
dengan cepat dan metode perencanaan strategis yang memberikan perhatian besar
dalam mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi di masa depan, maka
penerapan perencanaan strategis merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dan
harus dilaksanakan semaksimal mungkin, mengingat lingkungan juga selalu
berubah dan masa depan kian sulit diprediksikan (Basri,2005).
Beberapa penelitian mengenai perencanaan stratejik (Amstrong,1982) serta
adanya teori yang dikemukakan (Hax and Majluf,1991; Higgins and Vienze,1993;
Pearce and Robinson,1994) bahwa proses perencanaan stratejik terdiri dari 3
komponen yaitu (1) formulasi, dimana terdiri dari pengembangan misi, penentuan
tujuan, penilaian lingkungan internal dan eksternal serta evaluasi dan
penyeleksian alternatif strategi, (2) implementasi, (3) pengawasan/kontrol.
Adapun fokus utama dari kegiatan perencanaan stratejik dalam perusahaan dapat
dilihat dari komponen-komponen diatas.
Anderson (1982), melalui kertas kerjanya menerangkan tentang hubungan
antara perkembangan usaha kecil dan menengah dengan laju pertumbuhan atau
tingkat pengembangan ekonomi suatu wilayah yang kemudian dikenal dengan
sebutan ”stage theory”. Menurut Anderson (1982) teori tersebut menjelaskan
bahwa :
a. Negara yang tingkat ekonominya masih terbelakang, tingkat pendapatan riil
per kapita rendah pada industri rumah tangga tersebut sangat dominan
(berdasar tingkat penyerapan tenaga kerja)
b. Pada negara yang sudah maju tingkat pembangunan ekonominya, tingkat
pendapatan riil per kapita tinggi pada industri kecil dan terutama industri skala
menengah besar lebih dominan.
Anderson (1982) juga menyebutkan bahwa struktur industri kecil semakin
berubah dengan berkembangnya suatu wilayah, dimana industri kecil yang
membuat barang-barang lebih modern (alat elektronik, komponen mesin dan auto
mobil) lebih banyak dibandingkan dengan industri kecil yang memproduksi
barang-barang tradisional (alat pertanian sederhana, sepatu dan alat rumah tangga
dari kayu dan logam).
Sisi lain yang masih memerlukan pemikiran secara mendasar bagi
pengembangan usaha kecil menengah adalah rendahnya mobilitas transformasi
struktural dan kultural. Struktur usaha kecil menengah secara umum masih
berbentuk kerucut dalam arti besar di bagian bawah dan keatas semakin mengecil
jumlahnya. Perkembangan di masa mendatang diharapkan struktur itu akan
berubah menjadi bentuk melon dalam arti besar di tengah dan kecil diatas
cenderung proposional.
Gejala semacam itu antara lain disebabkan oleh faktor kognitif dan
keterampilan (skill) yang relatif masih rendah dan juga sikap mental para
pengusaha kecil dan menengah yang belum menemukan jati dirinya sebagai
layaknya lembaga ekonomi yang lain. Kemampuan manajerial yang relatif
terbatas dan struktur organisasi dan kewenangan yang terpusat pada satu orang
serta wawasan pengembangan bisnis yang masih temporal atau jangka pendek
menyebabkan pengusaha kecil dan menengah sulit timbul cepat dan kondisi dalam
dunia persaingan bisnis semakin ketat.
Hartanto (1999) mengemukakan, bahwa gejolak yang dihadapi dunia bisnis ini
bukan saja terjadi karena perubahan pada lingkungan eksternalnya, tetapi juga
konsekuensi dari perkembangan dan perubahan internalnya dari masing-masing
perusahaan tersebut. Perubahan pada lingkungan eksternal biasanya berkisar pada
perkembangan atas kebutuhan masyarakat, pelanggan, perubahan tatanan
ekonomi, perubahan demografi, perubahan mobilitas sosial dan geografik.
Sebaliknya perubahan dalam lingkungan internal perusahaan timbul karena dua
kekuatan yaitu (1) kesadaran baru manajemen tentang respons stratejik yang perlu
mereka ambil untuk menghadapi perubahan yang terjadi di lingkungan
eksternalnya atau dinamakan perubahan strategi dan (2) timbul dari pendewasaan
perusahaan.
Faktor lingkungan berperan penting bagi perusahaan terutama dalam
pemilihan arah dan formulasi strategi perusahaan. Adanya perubahan dalam
lingkungan baik internal ataupun eksternal menuntut kapabilitas perusahaan untuk
dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut agar kelangsungan hidup (survival)
perusahaan tetap bertahan. Sementara itu perencanaan merupakan suatu alat untuk
melakukan adaptasi dan juga merupakan faktor penentu bagi kinerja perusahaan
sehingga diharapkan menciptakan keunggulan bersaing.
Dibawah ini tercantum beberapa penelitian yang menunjukan hubungan antara
perencanaan stratejik dengan kinerja, dan beberapa variabel yang mempengaruhi
sebuah perencanaan stratejik hingga mampu menciptakan keunggulan bersaing.
Penelitian ini terdiri sebagai berikut :
full download pdf - konsultasi via facebook
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia dan era perdagangan
bebas, usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia juga dapat diharapkan menjadi
salah satu pemain penting. UKM diharapkan sebagai pencipta pasar di dalam
maupun di luar negeri dan sebagai salah satu sumber penting bagi surplus neraca
perdagangan dan jasa atau neraca pembayaran. Untuk melaksanakan peranan
tersebut, UKM Indonesia harus membenahi diri, yakni menciptakan daya saing
globalnya (Supratiwi & Isnalita,2003).
Secara nasional, usaha kecil dan menengah mempunyai kedudukan, potensi
dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam rangka mewujudkan tujuan
pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada
khususnya. Peran ini dapat dilihat dalam hal penyediaan kesempatan usaha,
lapangan kerja dan peningkatan ekspor. Dapat dilihat bahwa usaha kecil dan
menengah lebih mampu untuk bertahan lebih lama dari krisis ekonomi, karena
mempunyai karakteristik yang lebih fleksibel dan lebih memanfaatkan sumber
daya lokal sehingga bisa diandalkan untuk mendukung ketahanan ekonomi.
Namun demikian usaha kecil menengah dalam perkembangannya masih
menghadapi berbagai persoalan yang perlu mendapat perhatian dari berbagai
pihak antara lain (Riyadi,2001) : (1) rendahnya produktivitas, sumber daya
manusia dan manajemen yang belum profesional, kurang tanggap terhadap
perubahan teknologi dan kurangnya permodalan, (2) akses pasar yang belum
memadai, termasuk di dalamnya jaringan distribusi yang berfungsi sebagai jalur
pemasaran belum berjalan efisien, (3) belum adanya tanda-tanda membaiknya
perekonomian nasional serta (4) tantangan dari perkembangan perdagangan bebas
baik dalam rangka kerjasama AFTA, APEC, dan GATT/WTO yang akan
membawa dampak pada peningkatan persaingan usaha.
Berbagai persoalan diatas dapat diatasi apabila para pengusaha kecil dan
menengah mampu mengembangkan usahanya secara kreatif dan inovatif dengan
selalu berorientasi pada pasar, peningkatan kualitas, produktivitas dan daya saing
dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dan selalu mengikuti perkembangan
informasi dan teknologi. Oleh karena itu perlu kebijakan pembinaan dan
pengembangan usaha kecil dan menengah yang dapat mendorong ke arah yang
lebih maju dan mandiri serta mampu meningkatkan perannya dalam
perekonomian nasional (Riyadi,2001).
Data dari Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah
(Menekop & PKM) menunjukkan bahwa pada tahun 2000, ada sekitar 38,99 juta
usaha kecil dengan rata-rata penjualan per tahun kurang dari Rp 1 Milyar atau
sekitar 99,85 % dari jumlah perusahaan di Indonesia ( Tambunan, 2001)
Walaupun keberadaan UKM dan IKM sangat berperan dalam perkembangan
keadaan perekonomian, akan tetapi karakteristik yang melekat pada UKM bisa
merupakan kelebihan atau kekuatan yang justru menjadi penghambat
perkembangannya (growth constraints). Kombinasi dari kekuatan dan kelemahan
serta adanya peluang dan tantangan dari kesemuanya dengan keadaan situasi
ekternal akan mampu menentukan prospek perkembangan UKM itu sendiri.
Organisasi yang baik adalah yang memiliki tujuan jelas berdasarkan visi dan
misi yang disepakati pendirinya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dibutuhkan
cara untuk mencapainya yang lazim disebut sebagai strategi. Selanjutnya disusun
rencana (plan) , kebijakan (policies) hingga pencapaian dan program aksi. Dalam
penerapannya, bisa saja unsur diatas mengalami perubahan sebagai akibat dari
tidak terpenuhinya asumsi-asumsi yang dipakai dalam perencanaan, misalnya
karena sumber daya yang didapat tidak sesuai dengan harapan. Bisa pula
disebabkan oleh tujuan yang terlalu abstrak sehingga sangat jauh dari apa yang
diharapkan. Setiap organisasi tentu memiliki perencanaan, dan bagi lingkup
perusahaan kita mengenal istilah perencanaan stratejik, dimana perencanaan
stratejik ini dapat membantu kita mengevaluasi secara berkala untuk mencapai
tujuan, membantu perusahaan untuk maju dan berkembang, memperbesar pangsa
pasar di tengah persaingan usaha yang semakin tajam (Allison &Kaye, 2005).
Salah satu kunci keberhasilan dari perencanaan stratejik adalah pada
pemilihan pasar dan penentuan bagaimana berkompetisi di tengah persaingan
yang ada (Hooley,Moller & Broderick,1998; Sashi & Stern,1995 ). Letak dari
persaingan adalah diferensiasi produk dan jasa dalam pasar yang terpilih bagi para
pesaing mereka. Mengacu pada ide Porter (1980) mengenai keunggulan bersaing
dapat dicapai melalui bermacam strategi salah satunya dengan strategi bisnis baik
itu cost leadership, differentiation maupun focus.
Perkembangan dunia usaha dalam bidang perusahaan industri yang berubah
dengan cepat dan metode perencanaan strategis yang memberikan perhatian besar
dalam mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi di masa depan, maka
penerapan perencanaan strategis merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dan
harus dilaksanakan semaksimal mungkin, mengingat lingkungan juga selalu
berubah dan masa depan kian sulit diprediksikan (Basri,2005).
Beberapa penelitian mengenai perencanaan stratejik (Amstrong,1982) serta
adanya teori yang dikemukakan (Hax and Majluf,1991; Higgins and Vienze,1993;
Pearce and Robinson,1994) bahwa proses perencanaan stratejik terdiri dari 3
komponen yaitu (1) formulasi, dimana terdiri dari pengembangan misi, penentuan
tujuan, penilaian lingkungan internal dan eksternal serta evaluasi dan
penyeleksian alternatif strategi, (2) implementasi, (3) pengawasan/kontrol.
Adapun fokus utama dari kegiatan perencanaan stratejik dalam perusahaan dapat
dilihat dari komponen-komponen diatas.
Anderson (1982), melalui kertas kerjanya menerangkan tentang hubungan
antara perkembangan usaha kecil dan menengah dengan laju pertumbuhan atau
tingkat pengembangan ekonomi suatu wilayah yang kemudian dikenal dengan
sebutan ”stage theory”. Menurut Anderson (1982) teori tersebut menjelaskan
bahwa :
a. Negara yang tingkat ekonominya masih terbelakang, tingkat pendapatan riil
per kapita rendah pada industri rumah tangga tersebut sangat dominan
(berdasar tingkat penyerapan tenaga kerja)
b. Pada negara yang sudah maju tingkat pembangunan ekonominya, tingkat
pendapatan riil per kapita tinggi pada industri kecil dan terutama industri skala
menengah besar lebih dominan.
Anderson (1982) juga menyebutkan bahwa struktur industri kecil semakin
berubah dengan berkembangnya suatu wilayah, dimana industri kecil yang
membuat barang-barang lebih modern (alat elektronik, komponen mesin dan auto
mobil) lebih banyak dibandingkan dengan industri kecil yang memproduksi
barang-barang tradisional (alat pertanian sederhana, sepatu dan alat rumah tangga
dari kayu dan logam).
Sisi lain yang masih memerlukan pemikiran secara mendasar bagi
pengembangan usaha kecil menengah adalah rendahnya mobilitas transformasi
struktural dan kultural. Struktur usaha kecil menengah secara umum masih
berbentuk kerucut dalam arti besar di bagian bawah dan keatas semakin mengecil
jumlahnya. Perkembangan di masa mendatang diharapkan struktur itu akan
berubah menjadi bentuk melon dalam arti besar di tengah dan kecil diatas
cenderung proposional.
Gejala semacam itu antara lain disebabkan oleh faktor kognitif dan
keterampilan (skill) yang relatif masih rendah dan juga sikap mental para
pengusaha kecil dan menengah yang belum menemukan jati dirinya sebagai
layaknya lembaga ekonomi yang lain. Kemampuan manajerial yang relatif
terbatas dan struktur organisasi dan kewenangan yang terpusat pada satu orang
serta wawasan pengembangan bisnis yang masih temporal atau jangka pendek
menyebabkan pengusaha kecil dan menengah sulit timbul cepat dan kondisi dalam
dunia persaingan bisnis semakin ketat.
Hartanto (1999) mengemukakan, bahwa gejolak yang dihadapi dunia bisnis ini
bukan saja terjadi karena perubahan pada lingkungan eksternalnya, tetapi juga
konsekuensi dari perkembangan dan perubahan internalnya dari masing-masing
perusahaan tersebut. Perubahan pada lingkungan eksternal biasanya berkisar pada
perkembangan atas kebutuhan masyarakat, pelanggan, perubahan tatanan
ekonomi, perubahan demografi, perubahan mobilitas sosial dan geografik.
Sebaliknya perubahan dalam lingkungan internal perusahaan timbul karena dua
kekuatan yaitu (1) kesadaran baru manajemen tentang respons stratejik yang perlu
mereka ambil untuk menghadapi perubahan yang terjadi di lingkungan
eksternalnya atau dinamakan perubahan strategi dan (2) timbul dari pendewasaan
perusahaan.
Faktor lingkungan berperan penting bagi perusahaan terutama dalam
pemilihan arah dan formulasi strategi perusahaan. Adanya perubahan dalam
lingkungan baik internal ataupun eksternal menuntut kapabilitas perusahaan untuk
dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut agar kelangsungan hidup (survival)
perusahaan tetap bertahan. Sementara itu perencanaan merupakan suatu alat untuk
melakukan adaptasi dan juga merupakan faktor penentu bagi kinerja perusahaan
sehingga diharapkan menciptakan keunggulan bersaing.
Dibawah ini tercantum beberapa penelitian yang menunjukan hubungan antara
perencanaan stratejik dengan kinerja, dan beberapa variabel yang mempengaruhi
sebuah perencanaan stratejik hingga mampu menciptakan keunggulan bersaing.
Penelitian ini terdiri sebagai berikut :
full download pdf - konsultasi via facebook
Sunday, June 3, 2012
PERAN STRATEGI SDM DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL
Abstrak
Era
globalisasi dan perdagangan bebas membuat persaingan bisnis semakin
ketat. Pada dasarnya strategi SDM berkaitan dengan tiga aktivitas SDM:
pengadaan, pemeliharaan serta pelatihan dan pengembangan. Strategi dan
perencanaan SDM perlu didukung oleh nilai-nilai kreativitas, layanan,
continous learnig dan inovatif. Konsep Learning organization seyogyanya
diaplikasi dan dikembangkan untuk mengantisipasi tantangan lingkungan
internal dan eksternal. Artikel ini membahas peranan strategi SDM dalam
menghadapi era globalisasi agar perusahaan mampu bertahan dan
berkembang.
Pendahuluan
Abad
21 diwarnai oleh era globalisasi. Strategi SDM perlu dipersiapkan
secara seksama khususnya oleh perusahaan-perusahaan agar mampu
menghasilkan keluaran yang mampu bersaing di tingkat dunia. Perdagangan
bebas merupakan suatu ciri khas dari era global. Untuk mengantisipasi
perdagangan bebas di tingkat dunia, para pemimpin negara ASEAN pada
tahun 1992 memutuskan didirikannya AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang
bertujuan meningkatkan keuntungan bersaing regional. Enam negara telah
menandatangani persetujuan CEPT (Common Effective Prevential Tariff)
yang pada dasarnya menyetujui penghapusan biaya impor. Globalisasi
ekonomi dan sistem pasar bebas dunia menempatkan Indonesia bagian dari
sistem tersebut. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta
orang merupakan pangsa pasar yang potensial.
Fakta
menunjukkan bahwa akhir-akhir ini Indonesia “kebanjiran” barang-barang
luar negeri. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan Indonesia tidak
hanya bersaing dengan perusahaan di dalam negeri namun mereka mau tidak
mau harus bersaing perusahaan Multinasional dan perusahaan-perusahaan
negeri lain. Perusahaan-perusahaan Indonesia dituntut mampu bersaing
secara profesional pada skala dunia. Kotter (1992) mengingatkan bahwa
globalisasi pasar dan kompetisi menciptakan suatu perubahan yang sangat
besar. Strategi yang tepat harus diaplikasi untuk meraih keberhasilan
melalui pemanfaatan peluang.
Banyak
perusahaan di dunia dan di Indonesia menyadari hal tersebut dan memilih
strategi perusahaan yang tepat. Tidak sedikit pula dari mereka yang
tidak memperhitungkan implikasi langsung strategi perusahaan yang
sebelumnya memilih strategi analyser dan bersifat sangat berhati-hati
dalam mengelola dan memanfaatkan peluang bisnis serta memiliki budaya
perusahaan yang cenderung konvensional, birokratis, kurang inovatif, dan
berorientasi lokal. Perusahaan tersebut akan mengalami banyak persoalan
jika SDMnya dan budaya perusahaannya tidak dikelola dengan efektif.
Perusahaan dengan strategi prospector harus didukung oleh SDM yang
menganut nilai-nilai inovatif, tidak birokratis dan refleksibel.
Globalisasi dan SDM
Istilah
Globalisasi sebenarnya sudah sering dipergunakan sejak beberapa tahun
terakhir ini. Namun, implikasi globalisasi pada manajemen sumber daya
manusia tampaknya masih kurang diperhatikan secara profesional. Fakta
menunjukkan bahwa peranan manusia dalam menunjang pengimpletasian suatu
strategi perusahaan, SBU (Strategic Business Unit) maupun fungsional
sangat penting dan menentukan. Banyak perusahaan yang telah melakukan
program-program dan pengembangan sumber daya manusia sebagai tanggapan
dan mengantisipasi suatu perubahan lingkungan yang sangat cepat. Alat
ukur keefektifan organisasi dan aktifitas sumber daya manusia perlu
dirancang secara profesional. Kapital intellectual dan pengukurannya
akhir-akhir ini sebagai alternatif yang menjanjikan kendati
pengimplementasiannya tidak semudah yang diperkirakan.
Abad ke 21 ini pelaku bisnis harus pula mampu mengintregasikan semua dimensi lingkungan hidup. Capra (1997) mengemukakan bahwa pergeseran paradigma mekanistik ke paradigma holistik akan terus berjalan.
Perlu
diperhatikan oleh pelaku bisnis adalah karakteristik yang digunakan
untuk menjawab tantangan perdagangan bebas yang semakin kompetitif.
Globalisasi sangat berpengaruh pada aspek bisnis di Indonesia.
Perusahaan harus mempunyai visi dan misi yang jauh berwawasan luas.
Perekrutan
calon karyawan di Indonesia tidak sesuai dengan job requerements dengan
kompetiensinya. Dengan meningkatkan SDM secara efektif akan
meningkatkan kompetensi dalam perekrutan itu sendiri.
Tingkat pembangunan negara dipengaruhi oleh sumber daya manusia. Dengan membandingkan mutu SDM minimal dengan mutu tenaga kerja.
Perdangan
bebas bisa berorientasi global karena implementasinya menjadi
kenyataan. Hamel dan Prahalad mengatakan bahwa kompetisi pada masa depan
tidak hanya dapat dilakukan dengan redefinisi strategi namun perlu juga
redifinisi peranan manajemen atas dalam menciptakan strategi. Strategi
yang tepat sangat esensial melalui transformasi organisasi. Taylor
(1994) mengemukakan tindakan yang harus dilakukan untuk melakukan
transformasi organisasi agar berhasil dan mengatasi masalah a)strectch goals
yang mensyaratkan bahwa sasaran harus spesifik dan dapat diukur, b)
visi masa depan, c) struktur yang ramping, d) budaya baru yang mengacu
pada profesionalisme, keterbukaan, dan kerjasama kelompok, e)
berorientasi pada mutu atau layanan berkelas dunia, f) manajemen
prestasi; mensyaratkan setiap individu memberikan produk berkualitas dan
layanan yang memuaskan, g) inovasi menyeluruh, h) kemitraan dan
jaringan kerja.
Strategi Sumber Daya Manusia
Randall Schuler (1994), mendefinisikan strategi sumber daya manusia sebagai berikut:
…….. getting the strategy of the business implemented effectively …….
getting everybody from the top of the human organization to the bottom
doing things that make the business successful.
Dapat
disimpulkan bahwa strategi sumber daya manusia berkaitan dengan misi,
visi, stategi perusahaan, SBU (Strategy Business Unit) dan juga strategi
fungsional. Ketidaksesuaian antara strategi SDM dan strategi perusahaan
akan mempengaruhi pencapaian sasaran perusahaan. Perubahan strategi SDM
bukanlah sesuatu yang tabu tetapi perlu dipertimbangkan dengan matang.
Perusahaan
harus memilih strategi yang tepat agar dapat memanfaatkan peluang
bisnis dan mengantisipasi kendala yang ada. Salah satu kunci yang sangat
penting dalam meraih keuntungan kompetitif dengan pengelolaan sumber
daya manusia secara efektif. Untuk meningkatkan produksi dan prestasi
perusahaan.
Desain SDM berkaitan dengan desain pekerjaan yang mengacu pada JCM (Job Characteristic Model). Hackman dan Oldham (1976) mengemukakan bahwa JCM terdiri dari task identity, task significance, task variety, authority, dan feedback yang berimplikasi pada struktur organisasi
Dalam menghadapi pasar bebas Asia (AFTA), mutu SDM Indonesia cukup mengkhawatirkan. Man power planning secara nasional perlu dilakukan dengan seksama.
Ditingkat
mikro, perusahaan perlu berperan aktif untuk meningkatkan mutu SDM.
Aset SDM yang perlu dievaluasi adalah bobot/kualitas dan potensi sumber
daya manusia yang dimiliki saat ini, kebijakan-kebijakan SDM, sistem
pengadaan, pemeliharaan, dan pelatihan pengembangan, nilai-nilai yang
ada baik yang positif maupun negatife serta kemampuan mengelola
keragaman sumber daya manusia.
Untuk mengevaluasi SDM perlu dipertimbangkan empat factor sebagai berikut:
- Tingkat strategis, antara lain misi, visi dan sasaran organisasi.
- Faktor Internal SDM, antara lain aset SDM, aktivitas SDM.
- Faktor-faktor eksternal, demografis, perubahan sosial budaya.
- Faktor organisasional.
Pertimbangan Konseptual dalam Memilih Strategi SDM
Karakteristik bisnis abad 21ditandai dengan perdagangan dunia yang kompetitif. Continous innovativeness
perlu dilakukan namun perlu didukung oleh kreatifitas karyawan yang
tinggi. Kekreativitasan organisasi harus dikembangkan melalui penanaman
budaya perusahaan yang direfleksikan pada aktivitas-aktivitas SDM.
Organisasi yang belajar (learning organization) merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam mengembangkan sumber daya manusia untuk mengantisipasi masa depan. Learning organization membahas pentingnya peranan learning dalam menunjang keberhasilan. Learning organization membahas lima komponen dasar sebagai berikut:
- Personal mastery
- Mental models
- Shared vision
- Team learning
- Systems thinking
Dalam meningkatkan performance-nya perusahaan perlu melakukan rightsizing
agar fleksibilitas SDM dalam mencapai sasaran perusahaan dapat
tercapai. Berdasarkan dengan keterkaitan strategi bisnis dan strategi
SDM secara sistematik, Sonnenfeld dan Peiperl (1991) mengembangkan suatu
model tipologi perusahaan dan implikasinya pada strategi sumber daya
manusia sebagai berikut:
Fortress
Perusahaan menekankan pada kelangsungan hidup. strategi retrenchment menitikberatkan pada retensi bakat utama.
Academy
Perusahaan
menekankan pada spesialisasi jabatan cenderung merekrut fresh graduate
kemudian diarahkan dan dibina menjadi specialist pada pekerjaan
tertentu. Pelatihan ektensif diberikan pada para recruitees, biasanya di
jalur karier yang jelas biasanya direncanakan dengan seksama.
Club
Perusahaan
menekankan loyalitas, komitmen, senioritas, dan pengalaman. Para
manajer cenderung generalist sebab strategi SDM cenderung retensi,
pemeliharaan, dan kontribusi kelompok. Jika strategi perusahaan low cost producer (defender) berupaya meningkatkan koefisien dalam mengendalikan biaya, memelihara mutu, dan mengutamakan layanan pada pelanggan.
Baseball-Team
Perusahaan
menekankan pada inovasi dan kreativitas berperan penting. Penilaian
prestasi lebih berorientasi pada hasil. Penembangan berupa pelatihan
tidak terlalu banyak dilakukan.
Pendekatan
tipologi ini mengarahkan pola pikir secara sistematik dan pragmatis.
Mengacu pada setiap tipologi, perusahaan perlu mempersiapkan strategi
SDM yang efektif dengan memprtimbangkan, antara lain: penanaman budaya
perushaan yang sesuai, mengimplementasikan aktivitas SDM yaitu
pengadaan, pemeliharaan, pelatihan, dan pengembangan secara tepat
Aktivitas SDM dalam Menghadapi Bisnis “Global”
Dengan mengacu pada karakteristik bisnis masa depan (globalisasi) yang
dihadapi perusahaan di Indonesia maka perlu dirumuskan strategi yang
tepat dengan mempertimbangkan aktivitas manajemen antara lain :
1. Prediksi SDM secara kualitatif dan kuantitatif melalui penelitian.
- Rekrutmen dan seleksi berdasarkan pada faktor kemampuan, kepribadian yang positif, bermotivasi tinggi, nilai-nilai yang menunjang misi, visi serta strategi masa depan.
- Orientasi atau indection berdasarkan budaya perusahaan.
- Pelatihan serta pengembangan mengacu pada kompeten, motivasi, dan nilai-nilai yang diharapkan serta hasilnya dapat diukur.
- Pemeliharaan dilakukan dengan memperhatikan hak dan kewajiban karyawan secara seksama.
- Penilaian prestasi.
- Penanaman nilai yang menekankan pada paradigm learning organization, dan budaya organisasi.
- Memperhatikan faktor-faktor eksternal.
- Jalur karier karyawan.
- Struktur organisasi.
Komentar
Strategi
sumber daya manusia digunakan perusahaan sebagai patokan untuk
menjalankan aktivitas perusahaannya. Dalam menjalankan sebuah strategi
tentunya kita juga harus memperhatikan kelemahan dan kelebihan dari
strategi tersebut. Hal ini bertujuan untuk menganti sipasi apabila
muncul hambatan/ ancaman. Strategi SDM ini juga digunakan perusahaan
untuk berorientasi secara global.
Kesimpulan
Dengan
dimulainya perdagangan bebas, pemerintah dan pelaku bisnis harus siap
menghadapinya dengan mempersiapkan strategi bisnis dan khususnya SDM
agar kita mampu bersaing dalam skala dunia. Mutu SDM harus berorientasi
ke depan, sebab itu continous learning, fokus pada tim, “empowerment, kreatif, mengaplikasikan paradigma Learning Organization – the right man on the right place, at the right time, and at the right company perlu diaplikasi.
Profesionalisme manajemen, sistem informasi, budaya perusahaan yang
tepat, pemanfaatan teknologi, strategi fungsional lainnya perlu secara
terpadu mendukung pelaksanaan humas resources practices yang
sejalan dengan strategi SDM, strategi perusahaan, misi dan visi,
disertai kepemimpinan yang handal, bermotivasi, berwawasan luas yang
didukung oleh SDM yang berkualitas dan berorientasi pada learning organization akan memungkinkan perusahaan menghadapi persaingan bisnis dengan lebih percaya diri..
Ditingkat makro, dalam menghadapi tantangan globalisasi perlu
mengembangkan tenaga kerja nasional melalui program-program terpadu dan
nyata. Kendati, tugas cukup berat, kita harus optimis dan segera
menentukan dan menjalankan strategi yang tepat dalam meningkatkan mutu
SDM / tenaga kerja ditingkat nasional agar kita tidak tertinggal jauh
dalam percaturan bisnis dunia.
Daftar Kepustakaan
Erve, N.M.(1998), Resonant Corporation, McGraw-Hill, USA.
Capra, F. (1997), The Web of Life, GB, Harper and Colin.
BPS (2000), Statistik Indonesia.
Gilley, J.W. &Maycunich, A.(2000), Beyond the Learning Organization, Harper Collins Publishers, USA
Hackman,
J.R. & Oldham, G.R. (1976), Motivation Through the Design of Work:
Test of a Theory, Organizational Behaviout and Human Performance,
August, pp. 250-79.
Hamel, G. & Prahalad, C.K. (1994), Competing for the Future, Harvard Business School, Press, Boston, MA
Konstadakopulus, D. (2002), The Collage of Technological Development for Asean, Asean Economic Bulletin, vol. 19 no.1. p 100-110
Koter, P.J. & Haskett, J.L (1992), Corporate Culture & Performance, Free Press, Macmilllan Press, USA
Miles, R. & Snow, C. (1978), Organizational Strategy, Structure & Process, MacGraw-Hill, New York
Schulter, R.S. & Huber, L.V. (1993), Personnel & Human Resource Management, Minn-West, St. Paul
Senge, P. (1990), The Leaders’ New York : Building Learning Organizations, Sloan Management Review 32, no. 1, p 7-24
Sonnenfeld,
J. & Peiperl, M.A (1998), Staffing Policy as a Strategic Response :
A Typology of Career System, Academy of Management Review, 13 no 4, p
588-600
Taylor, B. (1994), Successful Change Strategies, Simon & Schuster International, Co, GB
.
Subscribe to:
Posts (Atom)